5 Fakta Gugatan Jurnalis Buta Warna terhadap Lampu Merah: Mengancam Keselamatan Jiwa

Wakos Reza Gautama Suara.Com
Rabu, 20 Agustus 2025 | 20:15 WIB
5 Fakta Gugatan Jurnalis Buta Warna terhadap Lampu Merah: Mengancam Keselamatan Jiwa
Ilustrasi Lampu merah. Dua jurnalis buta warna menggugat UU LLAJ tentang keberadaan lampu merah. [ANTARA]

Suara.com - Bagi sebagian besar dari kita, lampu lalu lintas adalah perintah sederhana. Namun bagi jutaan orang lainnya, setiap perempatan jalan adalah arena pertaruhan nyawa, di mana warna merah dan hijau membaur menjadi teka-teki berbahaya. Kini, pertaruhan sunyi itu pecah menjadi gugatan bersejarah di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dua jurnalis, Singgih Wiryono dan Yosafat Diva Bayu Wisesa, membawa realitas mencekam yang mereka hadapi setiap hari ke meja hakim. Mereka menantang desain lampu lalu lintas yang dianggap "tiran" bagi penyandang buta warna parsial.

Gugatan ini lebih dari sekadar keluhan; ini adalah perjuangan untuk hak keselamatan yang bisa mengubah wajah lalu lintas dan aturan pembuatan SIM di Indonesia.

Berikut adalah 5 fakta kunci di balik gugatan berani yang mengguncang fondasi UU Lalu Lintas ini.

1. Dipelopori Dua Jurnalis, Bukan Gugatan Biasa

Ini bukan gugatan anonim. Aksi ini dimotori oleh dua praktisi media aktif, Singgih Wiryono dan Yosafat Diva Bayu Wisesa. Sebagai jurnalis, mereka terbiasa menyuarakan isu publik.

Kali ini, mereka menyuarakan perjuangan yang mereka alami secara personal namun berdampak pada jutaan orang. Mereka menjadi wajah dan suara bagi komunitas buta warna parsial yang selama ini terpaksa beradaptasi dalam diam dengan sistem yang membahayakan mereka.

2. Merah dan Hijau Terlihat Sama, Setiap Perempatan Adalah Ancaman

Inilah inti masalahnya. Bagi penyandang buta warna parsial, khususnya tipe Deuteranopia (kesulitan membedakan merah-hijau), lampu lalu lintas yang kita kenal adalah sumber petaka.

Baca Juga: KKJ Kecam Pembunuhan Berencana Jurnalis Al Jazeera

"Ketiadaan norma pasal yang jelas mengenai hal itu mengakibatkan para penyandang buta warna parsial kesulitan membedakan warna pada lampu lalu lintas, khususnya warna merah dan hijau," demikian bunyi argumen mereka.

Mereka mengaku menghadapi ancaman keselamatan setiap hari, dipaksa menerka-nerka apakah harus berhenti atau jalan, sebuah "judi" yang tak seharusnya ada di jalan raya.

3. Solusinya Brilian dan Sederhana: Ubah Bentuknya!

Para penggugat tidak meminta pemerintah menciptakan teknologi canggih. Solusi yang mereka tawarkan sangat logis dan mudah diimplementasikan.

Mereka meminta MK untuk memerintahkan perubahan desain lampu, misalnya dengan membedakan bentuknya.

Bayangkan lampu merah berbentuk kotak (seperti simbol 'stop') dan lampu hijau tetap bulat. Atau menambahkan simbol 'X' dan 'O'.

Dalam petitumnya, mereka meminta agar aturan dimaknai: "Alat pemberi isyarat lalu lintas harus mengakomodasi penyandang defisiensi warna parsial, misalnya dengan merubah warna dan/atau bentuk dan/atau jarak antar lampu.”

4. Sasarannya Bukan Cuma Lampu, Tapi Fondasi Hukumnya

Gugatan ini menyasar langsung ke jantung persoalan: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Secara spesifik, mereka menguji materi Pasal 1 angka 19 dan Pasal 25 ayat (1) huruf c.

Dengan menantang undang-undangnya di Mahkamah Konstitusi, mereka tidak hanya meminta perbaikan teknis, tetapi juga pengakuan konstitusional bahwa hak keselamatan penyandang disabilitas, termasuk buta warna, telah diabaikan dalam perumusan kebijakan lalu lintas.

5. 'Hadiah' Terbesarnya: SIM Tanpa Perlu Tes Buta Warna

Inilah dampak paling revolusioner jika gugatan ini dikabulkan. Menurut kuasa hukum pemohon, Viktor Santoso Tandiasa, kemenangan di MK akan menjadi tiket emas bagi para penyandang buta warna untuk mendapatkan SIM dengan adil.

Jika desain lampu lalu lintas sudah aman dan bisa dibedakan oleh semua orang tanpa mengandalkan warna, maka tes buta warna sebagai syarat kelulusan SIM menjadi tidak relevan.

“Artinya, kalau misalnya Mahkamah mengabulkan dan ada perubahan bentuk lampu merah, berarti tidak perlu lagi ada tes warna untuk mendapatkan SIM,” ujar Viktor.

Ini akan mengakhiri diskriminasi administratif yang selama ini menghalangi banyak orang untuk memiliki SIM. (ANTARA)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI