Suara.com - Sebuah warung kopi sederhana di Klaten, Jawa Tengah (Jateng) menjadi saksi bisu polemik hukum yang menjerat seorang lansia.
Endang, seorang nenek berusia 78 tahun, harus berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat menuju Ditreskrimsus Polda Jateng pada Senin (25/8/2025).
Ia tidak datang untuk melaporkan kejahatan, melainkan untuk menjalani mediasi atas tuduhan pelanggaran hak cipta yang berujung pada tuntutan denda fantastis sebesar Rp115 juta.
Kasus ini bermula dari sebuah acara kumpul keluarga pada momen halalbihalal Mei 2024 lalu.
Meski sedang bersama sanak saudara, warung kopi milik Endang yang berada di pekarangan rumahnya tetap dibuka.
Di tengah kehangatan acara, televisi di warung tersebut tanpa disadari memutar siaran langsung pertandingan Liga Inggris dari sebuah platform berbayar.
Momen inilah yang menjadi awal mula masalah.
Dua orang pria berbadan tegap tiba-tiba datang memesan kopi. Namun, gelagat mereka aneh.
Alih-alih menikmati pesanan, mereka justru sibuk mengambil beberapa foto di area warung.
Baca Juga: Menko PMK Sindir Paradigma Kesehatan: Bukan Sekadar Panjang Umur, Tapi Masa Tua Berkualitas
Sebulan kemudian, tepatnya pada 2 Juni 2024, sebuah surat somasi datang ke rumah Endang, mengubah ketenangan masa tuanya menjadi kecemasan.
Endang dituding melanggar Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta karena menyiarkan tayangan eksklusif di area komersial tanpa lisensi.
Platform video tersebut, selaku pemegang hak siar eksklusif Liga Inggris hingga 2028, tidak main-main dalam menegakkan aturan.
Pasalnya, nilai hak siar di kawasan Asia Tenggara bisa mencapai USD 60 juta atau sekitar Rp900 miliar per musim.
Merasa Dijebak dan Dicurangi
Di balik kasus hukum ini, Endang mencium adanya kejanggalan dan upaya penjebakan.
Ia menceritakan dengan detail kecurigaannya terhadap dua pembeli misterius yang datang saat kejadian.
Menurutnya, mereka seolah sengaja datang untuk mencari-cari kesalahan.
"Awalnya itu kan halal bihalal. Kita kumpul keluarga saja, bukan niat nonton bareng. Terus ada orang datang bertubuh tegap pesan kopi hitam dua terus foto-foto," tutur Endang.
Ia menegaskan tidak pernah berniat menggelar acara nonton bareng (nobar) komersial yang menarik bayaran.
"Kalau nobar itu kan diniati, ada tiket, ada komersil. Wong kita enggak ada tiket, enggak ada apa-apa. Itu acara keluarga," jelasnya.
Kecurigaan Endang semakin kuat saat mengingat kembali perilaku kedua pria tersebut.
"Bajunya hitam-hitam, beli kopi. Tahu-tahu moto-moto (mengambil foto). Saya jadi curiga, kok kayak cari-cari kesalahan," kisahnya.
Rasa janggal ini diperparah dengan besaran denda yang menurutnya tidak masuk akal.
Endang merasa diperlakukan seolah-olah ia adalah pebisnis besar yang meraup untung dari acara nobar, padahal kenyataannya tidak demikian.
"Mintanya Rp115 juta, saya tidak ikhlas. Lha wong saya ini orang tua, sakit jantung, sudah 22 tahun minum obat. Rasanya itu berlebihan sekali," ucap Endang.
Perspektif Hukum: Komersial vs. Privat
Meskipun terdengar seperti menargetkan masyarakat kecil, dari sisi hukum, tindakan pemegang hak siar memiliki dasar yang kuat.
Kuasa Hukum Indonesia Entertainment Group (IEG), Ebenezer Ginting, menjelaskan bahwa pelanggaran hak cipta tidak selalu berkaitan dengan penjualan tiket.
“Klien kami adalah pemegang lisensi eksklusif Liga Inggris. Artinya masyarakat boleh menikmati di rumah secara privat. Tapi kalau dipakai sebagai ikon usaha, seperti nonton bareng atau diputar di zona komersial, itu melanggar. Ada lisensi khusus yang harus dibayarkan,” kata Ebenezer.
Ia menegaskan bahwa unsur kesengajaan tidak menjadi tolok ukur utama.
Selama tayangan diputar di area komersial, baik disadari maupun tidak, hal itu sudah masuk dalam kategori pelanggaran.
"Terlepas ada ticketing atau tidak, selama memutar Liga Inggris di zona komersial, unsur sengaja maupun tidak, itu sudah melanggar undang-undang," tegasnya.
Menurut data IEG, ada sekitar 80-100 laporan polisi serupa di seluruh Indonesia, yang menyasar berbagai skala usaha, dari UMKM hingga kafe dan bar kelas menengah ke atas.
Kasus yang dialami Nenek Endang menjadi cerminan betapa minimnya sosialisasi mengenai aturan hak siar yang kompleks.
Bagi banyak pelaku usaha kecil, tayangan televisi dianggap sebagai konsumsi publik yang bebas, padahal di baliknya ada nilai bisnis dan lisensi yang harus dihargai.
Pihak pemegang lisensi pun menawarkan skema lisensi komersial dengan biaya aktivasi puluhan juta rupiah, sebuah angka yang sering kali di luar jangkauan usaha sekelas warung kopi.