Suara.com - Di tengah riuhnya perbincangan tentang kesejahteraan dan fasilitas pejabat, sebuah potret buram dari dunia pendidikan Indonesia kembali menjadi tamparan bagi nurani publik.
Kisah ini datang dari Bapak Suryono, seorang guru honorer di Sukabumi, Jawa Barat, yang pengabdiannya seolah tak ternilai, namun dihargai dengan angka yang mengiris hati.
Selama 33 tahun, Suryono telah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa.
Namun, statusnya tak kunjung beranjak dari seorang honorer. Ironisnya, penghargaan yang ia terima atas pengabdian puluhan tahun itu adalah upah yang jauh dari kata layak.
Dari foto yang beredar viral, terlihat potret Suryono yang sederhana, berdiri di depan kelas dengan tumpukan kertas tugas.
Di balik wajah tenangnya, tersimpan sebuah realita pahit. Untuk pekerjaannya sebagai guru honorer, ia hanya memperoleh gaji sebesar Rp350 ribu.
Angka yang sudah sangat kecil itu ternyata bukan untuk penghasilan setiap bulan.
Gaji tersebut ia terima setiap tiga bulan sekali. Itu pun dengan catatan: jika dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah sudah cair.
Jika dirata-rata, penghasilannya tak lebih dari Rp117 ribu per bulan, atau sekitar Rp3.900 per hari. Sebuah angka yang bahkan tidak cukup untuk membeli satu liter bensin.
Baca Juga: Ini Baru Wakil Rakyat! Di Swedia, Gaji Parlemen Tak Jauh Beda dari Gaji Guru dan Naik Bus
Meski begitu, kesulitan ekonomi tidak pernah sekalipun memadamkan api semangatnya untuk mengajar.
Setiap hari, Suryono menempuh perjalanan yang tidak mudah. Ia harus mengendarai sepeda motornya sejauh 7 kilometer dari rumahnya menuju tempatnya mengabdi di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Tegal Panjang, Desa Sidamulya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi.
Perjalanannya bukan hanya soal jarak, tetapi juga soal keyakinan.
Ia percaya bahwa setiap kayuhan motornya adalah langkah untuk membentuk masa depan anak-anak didiknya.
Ia adalah bukti nyata dari frasa "pahlawan tanpa tanda jasa", di mana pengabdian tulusnya jauh melampaui imbalan materi yang ia terima.
Kisah Suryono bukan sekadar cerita individu namun ini adalah cerminan dari sebuah sistem yang masih belum sepenuhnya menghargai para pahlawan di garda terdepan pendidikan.