- Pencopotan PM Paetongtarn memicu ketidakpastian politik dan potensi kudeta militer
- Analis memprediksi kemungkinan terbentuknya koalisi rapuh atau pemilu dini
- Ketidakstabilan politik juga memicu perlambatan ekonomi
Suara.com - Setelah pencopotan Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra dari jabatannya pada Jumat (29/8/2025), para analis memperkirakan Thailand akan menghadapi ketidakpastian politik dan ekonomi yang semakin besar, bahkan potensi kudeta militer.
Paetongtarn diberhentikan karena pelanggaran etika, menyusul penangguhannya pada Juli lalu setelah rekaman teleponnya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, bocor ke publik.
Dalam rekaman tersebut, Paetongtarn mengkritik seorang komandan militer Thailand yang menangani sengketa perbatasan dengan Kamboja, sementara di sisi lain ia menunjukkan sikap yang terlalu bersahabat dengan Hun Sen.
Insiden ini terjadi menjelang bentrokan yang meletus antara Thailand dan Kamboja pada akhir Juli, meskipun gencatan senjata telah dicapai lima hari setelah konflik dimulai.
Kekacauan Politik di Depan Mata
Menurut Joshua Kurlantzick, seorang peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations, dalam laporan yang dikutip via CNBC.com, menjelaskan bahwa situasi politik Thailand akan mengalami "kekacauan dalam jangka pendek".
Ia melihat beberapa kemungkinan skenario, salah satunya adalah Partai Pheu Thai, partai penguasa yang dipimpin Paetongtarn, tetap bertahan dengan mayoritas tipis di parlemen.
![Eks PM Thailand Paetongtarn Shinawatra [Instagram/Paetongtarn Shinawatra/Ingshin21]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/01/69688-paetongtarn-shinawatra.jpg)
Koalisi ini bisa menempatkan sosok yang lebih lemah sebagai Perdana Menteri, seperti Chaikasem Nitisiri, mantan menteri kehakiman yang juga merupakan anggota Partai Pheu Thai.
Skenario lain, menurut Kurlantzick, adalah terbentuknya "koalisi yang tidak lazim" oleh partai lain, seperti Partai Bhumjaithai, yang mengandalkan dukungan dari Partai Rakyat (sebelumnya Partai Bergerak Maju).
Baca Juga: Dijebak Rekan Kerja, WNI Dijual ke Kamboja dan Diancam Jadi Korban Perdagangan Organ
Namun, Kurlantzick menilai skenario ini "hampir tidak pernah berhasil di negara mana pun, dan mungkin tidak akan berhasil di Thailand."
Partai Bhumjaithai sendiri telah keluar dari koalisi pemerintahan Paetongtarn pada 18 Juni, tak lama setelah bocornya rekaman telepon dengan Hun Sen.
Pemimpinnya, Anutin Charnvirakul, dilaporkan tengah bernegosiasi dengan berbagai pihak untuk membentuk pemerintahan baru, bahkan menawarkan janji untuk mengadakan pemilu dalam empat bulan.
Namun, analis dari Nomura menilai peluang Anutin menjadi Perdana Menteri lebih kecil dibanding Nitisiri, mengingat jumlah kursi Partai Bhumjaithai di parlemen jauh lebih sedikit.
Nomura memperkirakan bahwa jika Nitisiri terpilih, status quo pemerintahan akan tetap terjaga. Namun, mereka juga menyoroti risiko pemilu dini yang bisa terjadi pada awal 2026, mengingat koalisi yang berkuasa memiliki mayoritas yang relatif kecil di tengah ketidakpastian politik yang meningkat.
"Namun demikian, pemilu, menurut kami, tidak mungkin memberikan solusi permanen dan malah dapat memperpanjang ketidakpastian politik," tambah Nomura.
Ancaman Kudeta Militer Mengintai
Kurlantzick juga memperingatkan bahwa kelemahan politik yang terjadi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kudeta militer.
Thailand memiliki sejarah panjang kudeta, yang terjadi pada tahun 2006 dan 2014. Kudeta 2006 menggulingkan ayah Paetongtarn, Thaksin Shinawatra, sementara kudeta 2014 terjadi setelah Mahkamah Konstitusi mencopot saudara perempuannya, Yingluck Shinawatra.
Menurut Kurlantzick, jika parlemen bubar dan pemilu kilat diadakan, militer dan istana tidak menginginkannya.
"Dalam pemilu kilat yang bebas, Partai Bergerak Maju, yang progresif dan berdedikasi pada reformasi militer dan monarki, memiliki peluang sangat bagus untuk memenangkan mayoritas mutlak di Parlemen dan memilih Perdana Menteri. Itu akan menjadi bencana bagi militer dan istana," jelasnya.
Partai Bergerak Maju, di bawah pimpinan Pita Limjaroenrat, sebenarnya telah memenangkan kursi terbanyak dalam pemilu 2023, namun gagal membentuk pemerintahan.
Partai tersebut akhirnya dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2024 karena dianggap melanggar konstitusi dengan mengusulkan amandemen undang-undang lèse-majesté.
Kurlantzick menilai, "jika Parlemen runtuh, militer mungkin merasa tidak ada pilihan lain selain kudeta," dan menekankan bahwa ini adalah "kemungkinan yang sangat nyata."
Pandangan ini didukung oleh makalah dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think tank di Washington.
CSIS menyatakan bahwa militer, monarki, dan elite tradisional Thailand memandang demokrasi elektoral sebagai ancaman bagi kendali mereka.
Laporan tersebut menambahkan, "mereka melihat diri mereka sebagai penjaga stabilitas nasional, sering kali memandang pemilih populis yang sebagian besar berada di pedesaan sebagai tidak siap untuk partisipasi politik yang terinformasi."
Ketidakstabilan politik ini juga berpotensi memperburuk perekonomian Thailand. Saat ini, ekonomi negara tersebut tengah berjuang menghadapi tarif dari pemerintahan Trump dan menjadi salah satu pasar dengan kinerja terburuk di Asia. Indeks SET telah jatuh 11,7% sepanjang tahun ini.
Radhika Rao, ekonom senior di DBS Bank, mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Thailand berada di "sisi yang lebih lambat," meskipun bank sentral masih diperkirakan akan memotong suku bunga untuk mendukung pertumbuhan.
Analis Nomura juga memproyeksikan pertumbuhan PDB hanya 1,8% untuk tahun 2025. Angka ini sejalan dengan perkiraan yang diturunkan oleh Bank Dunia pada Juli, yang memangkas proyeksi pertumbuhan Thailand menjadi 1,8% dari 2,9% sebelumnya.
Ketidakpastian politik dan pelemahan pertumbuhan ekonomi ini telah membuat analis Nomura memperkirakan kemungkinan penurunan peringkat kredit negara oleh Moody's dalam beberapa kuartal mendatang.
Moody's sendiri telah merevisi prospek peringkat Thailand menjadi negatif pada April lalu, dengan alasan ketidakpastian politik yang meningkat dan pertumbuhan yang terus melemah.
Kontributor : Rizqi Amalia