- Sejarah kelam tahanan politik atau Tapol di era rezim Orde Baru.
- Kremlin, kantor serikat buruh SOBSI yang disulap jadi rumah jagal.
- Kremlin adalah salah satu tempat paling menakutkan bagi aktivis era Orde Baru.
Suara.com - Di balik gemerlap gedung-gedung kekuasaan Jakarta, tersimpan sebuah peta geografi ketakutan yang menjadi 'hantu' bagi para aktivis penentang rezim Orde Baru.
Selain penjara resmi, ada ruang-ruang gelap tak bernama yang sengaja diciptakan sebagai pusat teror. Salah satu yang paling legendaris dan menyeramkan adalah sebuah tempat di Jalan Kramat V yang dijuluki 'Kremlin'.
Bagi sejarawan sekaligus eks aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Wilson Obrigados, memori tentang Kremlin dan tempat-tempat serupa masih begitu hidup dan membuat bulu kuduk berdiri.
Wilson membagi 'dunia penyiksaan' di era Orde Baru menjadi dua: penjara resmi dan tempat interogasi terselubung. Dari keduanya, Kremlin menjadi yang paling menakutkan.
“Yang paling menyeramkan adalah Kramat Lima, populer disebut Kremlin, dan Markas BIA (Badan Intelijen ABRI) di Ragunan. Kedua tempat ini jadi pusat teror bagi gerakan demokrasi,” tutur Wilson saat memulai ceritanya kepada Suara.com.
Di tempat-tempat inilah, kata Wilson, hukum negara seolah tak bertaji. Penangkapan yang terjadi lebih mirip sebuah penculikan. Intelijen militer datang tanpa seragam, tanpa surat perintah, dan tanpa basa-basi menyebutkan pasal apa yang dilanggar.
"Aktivis yang menjadi target diangkut dan lenyap dari pantauan publik," ungkapnya.
Selama berada di dalam ruang gelap itu, tidak ada pengacara yang mendampingi. Keluarga pun tak diberi kabar. Tujuannya hanya satu: menggali informasi gerakan anti-pemerintah dengan cara apa pun.
“Biasanya disertai penyiksaan dan intimidasi,” ungkap Wilson dengan nada getir.
Baca Juga: Kementerian BUMN Bakal Tinggal Kenangan, Ingat Lagi Sejarahnya Sebelum Dihapus
Dari Markas Buruh Menjadi 'Rumah Jagal'
Kremlin yang legendaris itu berlokasi di Jalan Kramat V, Senen, Jakarta Pusat, menempati tiga rumah bernomor 14, 16, dan 17. Ironisnya, sebelum menjadi rumah jagal, bangunan ini adalah Kantor Dewan Nasional Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), sebuah simbol perjuangan kaum pekerja.
Namun, setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 meletus, nasib bangunan itu berubah 180 derajat. Militer mengambil alih dan menyulapnya menjadi markas unit Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Laksus Kopkamtib.
Kopkamtib, yang awalnya dibentuk atas kompromi Soekarno dan Soeharto untuk memulihkan keamanan, dengan cepat meluas fungsinya di bawah kendali Soeharto. Lembaga super ini menjadi mesin utama untuk menangkapi siapa pun yang dianggap terkait dengan PKI.
Dalam buku "Neraka Rezim Suharto: Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru", Kremlin digambarkan sebagai salah satu lokasi paling menakutkan. Banyak aktivis dan warga yang diculik dan dibawa ke sana, lalu disiksa dengan metode yang sangat sadis.
Bagi Wilson, Kremlin dan Ragunan adalah antitesis dari hukum. Di sanalah proses peradilan dibungkam, digantikan oleh deru interogasi tanpa henti dan jeritan pilu yang tak pernah terdengar hingga ke luar tembok. Tempat-tempat ini, baginya, adalah mesin Orde Baru untuk mematahkan perlawanan, bahkan sebelum perlawanan itu sempat diadili.