suara hijau

Racun dari Dalam Tanah: Tambang Emas yang Mengancam Masa Depan Sangihe

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Jum'at, 10 Oktober 2025 | 13:43 WIB
Racun dari Dalam Tanah: Tambang Emas yang Mengancam Masa Depan Sangihe
Pulau Sangihe yang rusak akibat tambang emas. (Dok. Greenpeace)
Baca 10 detik
    • Laut Sangihe tercemar logam berat akibat aktivitas tambang emas yang meluas.
    • Penelitian menemukan kadar merkuri, arsen, dan timbal di atas batas aman.

    • Polnustar dan Greenpeace mendesak penghentian tambang dan pemulihan ekosistem.

Suara.com - Laut biru yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi warga Pulau Sangihe kini berubah menjadi sumber kekhawatiran. Di balik ketenangan ombak, logam berat perlahan meracuni ikan-ikan yang selama ini menjadi penghasilan dan makanan pokok masyarakat.

Penelitian gabungan Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar) dan Greenpeace Indonesia mengungkapkan adanya kadar merkuri, arsen, dan timbal di perairan pulau kecil ini yang telah melampaui batas aman.

Hasil laboratorium menunjukkan adanya senyawa metil merkuri, turunan merkuri yang sangat berbahaya karena dapat menyerang sistem saraf dan otak.

Pulau Sangihe terletak di Provinsi Sulawesi Utara. (BBC Indonesia)
Pulau Sangihe terletak di Provinsi Sulawesi Utara. (BBC Indonesia)

Para ahli memperingatkan bahwa anak-anak di Sangihe kini berisiko terpapar merkuri hingga empat kali lipat dari batas aman hanya dari kebiasaan makan ikan tangkapan.

“Kerusakan ini tidak lagi bersifat potensial, tetapi nyata, laut yang seharusnya menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi ancaman dan yang paling berisiko terkena adalah generasi masa depan,” ujar Prof. Dr. Ir. Frans G. Ijong, M.Sc, peneliti Polnustar.

Sangihe sejatinya adalah mutiara ekologi dunia karena letaknya di tengah segitiga terumbu karang global yang menjadi rumah bagi ribuan spesies laut. Wilayah ini diakui secara internasional sebagai Ecologically or Biologically Significant Areas (EBSAs).

Namun keistimewaan itu kini terancam oleh aktivitas pertambangan emas yang meluas tanpa kendali. Antara tahun 2015 hingga 2021, luas lahan tambang di Sangihe meningkat hingga 45,53 persen. Bukit hijau di pesisir kini menjadi hamparan tanah terbuka yang rawan longsor.

Saat hujan, material tambang yang mengandung logam berat mengalir ke laut, memperparah pencemaran.

Para peneliti menemukan kadar logam berat jauh di atas standar lingkungan. Arsen mencapai 0,0228 mg/L, hampir dua kali lipat dari batas aman, sementara timbal mencapai 0,0126 mg/L.

Baca Juga: KKP segel lahan reklamasi terminal khusus di Halmahera Timur

Padahal, berdasarkan dokumen AMDAL PT Tambang Mas Sangihe (TMS) tahun 2017, kadar arsen di wilayah itu masih di bawah 0,0003 mg/L. Perbedaan ini menunjukkan percepatan pencemaran yang luar biasa cepat.

Dampaknya kini terlihat jelas: mangrove mati, terumbu karang memutih, dan populasi ikan menurun drastis. Laporan EcoNusa bersama PKSPL IPB menunjukkan hasil tangkapan nelayan turun hingga 69,04 persen, dan pendapatan warga pesisir anjlok hingga 27,3 persen.

Ironisnya, sektor tambang yang digadang-gadang membawa kesejahteraan justru menambah kesenjangan. Banyak pekerja tambang tanpa kontrak kerja, tanpa perlindungan hukum, dan hidup dalam sistem bagi hasil yang merugikan.

Sementara nelayan harus bertahan dengan peralatan seadanya, bersaing dengan kapal besar yang memasang rumpon di laut yang sama. Laut yang dulu menjadi rumah kini menekan dari dua arah—dari industri tambang di darat dan eksploitasi di laut.

“Temuan ini adalah alarm keras,” ujar Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.

“Sangihe, sebuah pulau kecil dengan keanekaragaman hayati luar biasa, sedang menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang sistematis. Situasi ini memerlukan respons serius dari pemerintah untuk mencegah dampak yang lebih luas dan memulihkan kondisi yang sudah rusak.”

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI