- Pemerintah disebut berupaya menutup-nutupi kasus dengan memaksa pihak sekolah menandatangani surat pernyataan agar tidak mengungkapkan kasus keracunan.
- Presiden sebelumnya menyebut hanya 0,0007 persen penerima program yang mengalami keracunan.
- Hingga 19 Oktober 2025, korban keracunan akibat MBG mencapai 13.168 anak.
Suara.com - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai klaim Presiden Prabowo Subianto tentang keberhasilan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar 99,9 persen justru menunjukkan tanda bahaya, bukan bukti keberhasilan.
Presiden sebelumnya menyebut hanya 0,0007 persen penerima program yang mengalami keracunan, dan menyatakan hal tersebut masih dalam “batas ilmiah.”
Namun, bagi JPPI, pernyataan itu justru memperlihatkan cara pemerintah menormalisasi kekacauan program dan menyepelekan keselamatan anak-anak.
“Presiden tampaknya lupa, di balik angka itu ada ribuan anak yang keracunan dan keselamatannya terancam,” ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam keterangannya, Senin (20/10/2025).
Ia juga menuding pemerintah berupaya menutup-nutupi kasus dengan memaksa pihak sekolah menandatangani surat pernyataan agar tidak mengungkapkan kasus keracunan.
Menurut Ubaid, langkah itu membuat banyak kasus nyata hilang dari pantauan publik
“Kalau angka ditampilkan tapi fakta disembunyikan, itu bukan keberhasilan, tapi kegagalan yang sengaja dimanipulasi,” kata dia.
![Sebanyak 97.687 pelajar di Lampung mendapat program makan bergizi gratis (MBG) hingga Maret 2025. [ANTARA]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/08/77820-makan-bergizi-gratis-di-lampung.jpg)
JPPI mencatat, sejak awal September hingga 19 Oktober 2025, korban keracunan akibat MBG mencapai 13.168 anak. Dalam sepekan terakhir kasus keracunan masih bertambah, sebanyak 1.602 anak, naik dari pekan sebelumnya sebanyak 1.084 anak.
Korban terbanyak ada di Jawa Barat 549 kasus, Daerah Istimewa Yogyakarta 491 kasus, dan Jawa Tengah 270 kasus.
Baca Juga: Prabowo Puji Kinerja Kepala BGN Kembalikan Dana MBG Rp 70 Triliun: Dia Patriot
Ubaid menegaskan, data itu hanya berdasarkan laporan yang diterima JPPI, sehingga angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar.
Ia juga mendesak agar pemerintah, melalui Badan Gizi Nasional (BGN) maupun instansi terkait, melindungi pelapor dan pengungkap kasus keracunan, bukan menakut-nakuti mereka dengan intimidasi atau kewajiban menandatangani surat kerahasiaan.
“Harusnya, BGN melindungi pelapor dan pengungkap kasus keracunan, bukan malah menakut-nakutinya dengan mengintimidasi harus menandatangani surat pernyataan dan merahasikan kalau ada kasus keracunan,” tandas Ubaid.