- Wacana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mencuat dan menimbulkan pro-kontra di publik.
- Ketua MPR RI Ahmad Muzani menyebut keputusan akhir sepenuhnya ada di tangan Presiden Prabowo Subianto.
- Namun, sejumlah pihak termasuk aktivis 98 dan politisi menilai langkah itu berpotensi menodai semangat reformasi serta mengaburkan sejarah pelanggaran HAM di era Orde Baru.
Suara.com - Sejumlah tokoh, termasuk salah satunya Presiden ke-2 RI Soeharto, dicalonkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional 2025. Namun adanya hal itu masih menuai pro dan kontra.
Menanggapi hal itu, Ketua MPR RI Ahmad Muzani menegaskan, bahwa soal siapa yang akan diberikan gelar pahlawan nasional 2025 akan tergantung pada pilihan Presiden Prabowo Subianto.
"Nanti kita nunggu keputusan presiden siapa saja yang akan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam hal ini Presiden Prabowo untuk tahun ini dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional," kata Muzani ditemui usai acara media gathering MPR RI, Bandung, Jumat (24/10/2025).
Menurutnya, siapa pun yang dipilih nanti, Presiden pasti punya pertimbangannya.
"Sehingga saya kira presiden memiliki pertimbangan dan pandangan yang matang sesuai dengan peran dan masa baktinya pada saat yang bersangkutan memberi pengabdian terbaik kepada bangsa dan negara," katanya.
"Jadi saya kira tunggu bagaimana keputusan presiden untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada tokoh yang dipilih," sambungnya.
Lebih lanjut, saat disinggung khusus soal nama Soeharto yang masih banyak penolakan untuk diberikan gelar pahlawan, Muzani menyebut jika nama Presiden Soeharto sudah dinyatakan bersih.
"Ya kita tunggu keputusan presiden, tetapi kalau dari sisi MPR kan pada periode lalu yang bersangkutan sudah dinyatakan clear, dalam arti sudah menjalankan proses seperti yang ditetapkan dalam TAP MPR sehingga harusnya juga itu tidak menimbulkan problem lagi," pungkasnya.
Sebelumnya, wacana pengangkatan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional menuai kritik keras dari politisi PDI Perjuangan, M. Guntur Romli. Menurutnya, langkah tersebut secara otomatis akan mendelegitimasi gerakan mahasiswa 1998 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan rezim Orde Baru.
Baca Juga: Bukan Sekadar Gelar, Amnesty International Menolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Dalam pernyataannya, Guntur menegaskan, bahwa jika Soeharto diangkat sebagai pahlawan, maka mahasiswa '98 akan secara tidak langsung disebut sebagai "penjahat dan pengkhianat".
"Ini tidak bisa dibenarkan," kata Guntur kepada Suara.com, Kamis (23/10/2025).
Lebih lanjut, Guntur menyoroti implikasi serius terhadap berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah ditetapkan oleh negara pada era Orde Baru.
Peristiwa-peristiwa tersebut meliputi:
- Peristiwa 1965-1966
- Penembakan Misterius 1982-1985
- Talangsari 1989
- Rumah Geudong 1989-1998
- Penghilangan Paksa 1997-1998
- Kerusuhan Mei 1998
- Trisakti, Semanggi I dan II 1998-1999
- Pembantaian Dukun Santet 1998
"Jika Soeharto diangkat pahlawan, maka peristiwa-peristiwa yang disebut pelanggaran HAM ini bukan lagi pelanggaran HAM, tapi bisa disebut kebenaran oleh rezim Orde Baru Soeharto saat itu," ujar Guntur.
Ia juga menyatakan miris dengan adanya anggapan bahwa nama seperti Gus Dur dan Marsinah seolah dijadikan "barter" untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan.