- Media internasional seperti AFP, Reuters, dan The Diplomat menyoroti penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto, dengan fokus pada masa lalunya sebagai "diktator" dan catatan pelanggaran HAM
- Upacara pemberian gelar dipimpin langsung oleh menantu Soeharto, Presiden Prabowo Subianto, sebuah fakta yang menjadi perhatian khusus media asing
- Keputusan ini dianggap oleh sebagian pengamat internasional sebagai upaya menulis ulang sejarah (revisionisme) di era pemerintahan Prabowo, meskipun pemerintah mengklaim keputusan tersebut berdasarkan kajian akademis
Suara.com - Keputusan Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mertuanya, Presiden ke-2 RI Soeharto, memicu sorotan tajam dari berbagai media internasional. Pemberian gelar yang berlangsung di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (10/11/2025), ini dinilai kontroversial mengingat catatan hak asasi manusia Soeharto selama 32 tahun berkuasa.
Kantor berita Prancis, Agence France-Presse (AFP), secara lugas mengangkat kontroversi ini dalam artikelnya yang berjudul "Indonesia names late dictator Suharto a national hero". AFP menyoroti bahwa penganugerahan ini tetap dilakukan meskipun ada penolakan keras dari para aktivis dan akademisi.
"Indonesia menambahkan mantan presiden Soeharto ke dalam daftar pahlawan nasional dalam sebuah upacara pada hari Senin, meskipun ada keberatan dari para aktivis dan akademisi atas catatan hak asasi manusia mendiang diktator militer tersebut," tulis AFP.
Media tersebut juga menggarisbawahi ironi dalam upacara yang dipimpin langsung oleh Prabowo. "Presiden petahana, Prabowo Subianto, mantan menantu Soeharto, memimpin upacara Hari Pahlawan Nasional pada hari Senin."
Senada dengan AFP, kantor berita Reuters juga memberikan perhatian khusus pada sejarah kelam yang menyertai kepemimpinan Soeharto. Dalam artikel berjudul "Indonesia grants national hero status to late strongman President Suharto", Reuters mengingatkan bagaimana Soeharto mengambil alih kekuasaan.
"Suharto, seorang perwira militer, secara resmi menjadi presiden pada tahun 1967 setelah ia merebut kendali Indonesia dari presiden pertama dan pemimpin kemerdekaan Indonesia, Sukarno," tulis Reuters.
Meskipun mengakui adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat selama tiga dekade pemerintahannya, Reuters juga mencatat kejatuhan rezim Orde Baru.
"Ia memimpin Indonesia melewati tiga dekade pertumbuhan ekonomi yang pesat dan stabilitas, namun kemudian melihat banyak karyanya terbengkalai ketika negara itu terjerumus ke dalam kekacauan selama krisis keuangan Asia tahun 1997-1998."
Sementara itu, majalah The Diplomat melihat penganugerahan gelar ini sebagai sinyal berbahaya. Dalam artikelnya, "Indonesian Activists Protest Plans to Grant Former President Suharto 'Hero' Status", The Diplomat menyebut langkah ini sebagai "tanda revisionisme sejarah yang semakin menguat di bawah Presiden Prabowo Subianto".
Baca Juga: Jangan Ekstrem! Pesan Tutut Soeharto untuk Pengkritik Gelar Pahlawan Sang Ayah
The Diplomat juga melaporkan adanya protes, meski dalam skala kecil, dan mengutip pembelaan dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Fadli, yang memimpin Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, menegaskan bahwa ada "kontribusi, latar belakang, dan kisah hidup" yang "telah dipelajari secara menyeluruh dan diverifikasi melalui berbagai kajian akademis dan ilmiah".