- Pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana.
- RKUHAP atau RUU KUHAP mengatur kewajiban proses pemeriksaan tersangka direkam dengan kamera pengawas atau CCTV.
- MA nantinya tidak lagi memiliki ruang untuk membuat aturan baru di luar ketentuan.
Suara.com - DPR RI lewat Komisi III dan pemerintah kembali melanjutkan pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pembahasan sudah masuk pada tahap Rapat Kerja Panitia Kerja (Panja) RKUHAP dan mulai sepakati pasal demi pasal.
Rapat pembahasan RKUHAP ini dimulai pada Rabu (12/11) dan masih berlangsung hingga Kamis (13/11/2025) hari ini.
Sejumlah pasal dalam RKUHAP ini mulai disepakati, Suara.com coba mengulas beberapa pasal yang penting.
Pertama, Komisi III DPR RI dan Pemerintah menyepakati ketentuan baru di RUU KUHAP yang menegaskan pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dikenai tindakan rehabilitasi atau perawatan.
Ketentuan itu dibacakan oleh perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU KUHAP David dalam rapat panitia kerja Komisi III dan pemerintah Gedung DPR RI, Rabu (12/11/2025).
Dalam draf RUU KUHAP yang dibacakan David, usulan itu dituangkan dalam Pasal 137A. Ayat (1) berbunyi, “Terhadap pelaku tindak pidana yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan.”
Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa tindakan tersebut ditetapkan dengan penetapan hakim dalam sidang terbuka untuk umum.
Ayat (3) menegaskan bahwa penetapan tindakan itu bukan merupakan putusan pemidanaan, sedangkan ayat (4) menyebutkan tata cara pelaksanaan tindakan tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah.
“Ini mengakomodir agar penyandang disabilitas mental mendapat rehabilitasi, bukan pemidanaan. Termasuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam KUHAP,” kata David.
Baca Juga: Sebut Wajar MBG Ada Masalahnya, Habiburokhman: Saya Belum Pernah Menemui Orang yang Menolak
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, bahwa pemerintah sependapat dengan usulan tersebut.
![Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan pasal kompensasi kerugian korban pidana akan ditanggung negara bila pelaku tidak mampu. [Suara.com/Bagaskara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/11/54911-wamenkumham-edward-omar-sharif-hiariej.jpg)
Menurutnya, ketentuan itu sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
“Mohon maaf, Pak Ketua. Jadi, dalam KUHP itu Pasal 38 dan 39 tentang pertanggungjawaban pidana memang menyebutkan bahwa bagi penyandang disabilitas mental, mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab,” ujar Edward.
“Sehingga memang putusannya bukan pemidanaan, tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi. Koalisi disabilitas juga sudah menemui kami, dan kami setuju dengan usulan dari LBH Apik ini,” lanjutnya.
Usulan tersebut juga langsung mendapat dukungan dari para anggota Komisi III DPR.
Kedua, Komisi III DPR RI dan pemerintah bersepakat RKUHAP atau RUU KUHAP mengatur kewajiban proses pemeriksaan tersangka direkam dengan kamera pengawas atau CCTV.
Dalam aturan ini nantinya rekaman tersebut bisa digunakan tidak hanya untuk kepentingan penyidikan, tetapi bisa juga diakses pihak tersangka maupun terdakwa dalam rangka pembelaan hukum.
“Bagaimana? Aman? Ketok ya?” kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman dalam rapat Rabu (12/11/2025).
Adapun ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 31 Draf RUU KUHAP yang ditampilkan di ruang rapat dan dibacakan perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU KUHAP, David.
“Masukan dari ACTA ini kami tuangkan dalam Pasal 31 RUU KUHAP,” ujar David.
Dalam draf pasal tersebut, ayat (1) mengatur bahwa sebelum pemeriksaan dimulai, penyidik wajib memberitahukan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum atau didampingi advokat.
Sedangkan Ayat (2) menyebutkan bahwa pemeriksaan dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama proses berlangsung.
Kemudian untuk Ayat (3) menyatakan bahwa rekaman tersebut dapat digunakan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas permintaan hakim.
Sementara itu, ayat (4) menegaskan rekaman dapat digunakan untuk kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai penguasaan dan penggunaan rekaman kamera pengawas ini nantinya akan diatur dalam peraturan pemerintah,” ujarnya.
Habiburokhman pun menekankan bahwa pasal tersebut untuk mempertegas akses terhadap rekaman pemeriksaan tidak boleh hanya dimonopoli oleh penyidik.

“Kalau di draf yang lama, kamera pengawas hanya untuk kepentingan penyidikan. Padahal sebetulnya, masukan dari teman-teman advokat ini agar kamera pengawas juga bisa digunakan untuk pembelaan. Ini supaya ada keseimbangan,” katanya.
Dengan adanya kamera pengawas dianggap nanti bisa melindungi kedua belah pihak.
“Supaya aparatnya enggak dituduh sewenang-wenang juga. Misalnya dibilang gebukin, padahal enggak ada buktinya. Kalau sama-sama bisa akses CCTV, kan enak. Jadi fair,” kata Habiburokhman.
Wamenkum Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa pemerintah sepakat dengan usulan ketentuan dalam pasal tersebut.
Kemudian pada rapat Kamis hari ini, Mahkamah Agung (MA) menjadi sorotan lantaran tidak boleh membuat peraturan yang bertentangan, atau menyimpang dari ketentuan KUHAP yang kini sedang direvisi.
Habiburrokhman menegaskan bahwa setelah revisi KUHAP disahkan, MA tidak lagi memiliki ruang untuk membuat aturan baru di luar ketentuan. Sebab, seluruh aspek hukum acara pidana kini sudah diatur secara lengkap dan rinci.
“Besok-besok MA jangan bikin peraturan lagi menyimpang dari KUHAP. Jadi tidak ada celah,” kata Habiburrokhman dalam rapat hari ini.
Wanti-wanti yang disampaikan Habiburokhman ini disampaikan usai Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif menjelaskan asal salah satu ketentuan baru dalam draf revisi KUHAP, yakni Pasal 113B.
Pria yang dikenal dengan sebutan Eddy ini menyampaikan, jika ketentuan tersebut mengatur penyitaan terhadap benda yang tidak diketahui pemiliknya.
Ia menilai, ketentuan itu diambil dari praktik hukum yang selama ini telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma).
“Ini kami ambil dari peraturan Mahkamah Agung yang cukup rinci mengatur terkait penyitaan terhadap benda yang pemiliknya tidak diketahui. Jadi kita ya mengangkat ke KUHAP dari peraturan MA,” ujar Eddy dalam rapat.
Adapun ketentuan mengenai penyitaan benda tanpa pemilik memang menjadi salah satu ketentuan baru dalam draf KUHAP yang sedang direvisi kekinian.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 113B, yang secara rinci mengatur mekanisme permohonan, pengumuman, hingga putusan pengadilan terkait benda yang disita.
Berikut bunyi Pasal 113B:
Ayat (1) "Penyitaan terhadap benda yang pemiliknya tidak diketahui sebagaimana dimaksud dalam pasal 113 ayat 1 huruf F diajukan permohonan penyitaan oleh penyidik kepada ketua pengadilan negeri”.
Ayat (2) "Ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 3 hari memerintahkan panitera untuk mengumumkan permohonan penyitaan pada papan pengumuman pengadilan negeri dan atau media lain guna memberikan kesempatan kepada pihak yang merasa berhak atas benda untuk mengajukan keberatan”.
Ayat (3) "dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan penyitaan, ketua pengadilan negeri menunjuk hakim tunggal untuk memeriksa mengadili dan memutus permohonan penyitaan”.
Ayat (4) "Berdasarkan permohonan penyitaan yang diajukan oleh penyidik, hakim memutus benda tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak”.
Ayat (5) "Hakim harus memutus permohonan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam waktu paling lama 7 hari kerja terhitung sejak Hari Sidang pertama”.
Keempat, Komisi III DPR dan pemerintah juga sepakat menghapus ketentuan yang menyebut Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai penyidik utama dalam draf KUHAP terbaru.
Ketua Komisi III Habiburokhman sebelumnya menyampaikan, ketentuan yang dihapus adalah Pasal 6 yang termuat dalam draf KUHAP sebelumnya.
“Rekan-rekan, kita lanjutkan pembahasan klaster-klaster dalam revisi KUHAP yang dianggap masih bermasalah. Tapi ini ada yang perlu kita review sedikit, terkait Pasal 6,” kata Habiburokhman.
Ia mengatakan, kalau penghapusan Pasal 6 itu untuk menyelaraskan RUU KUHAP dengan undang-undang lain yang terkait dan sudah berlaku.
“Kemarin kan kita sudah drop usulan pasal tentang Jaksa Penuntut Tertinggi yang dipilih presiden, karena itu sudah diatur di UU Kejaksaan. Maka hal yang sama kita perlakukan pada Polri. Karena sudah diatur di UU Polri, enggak perlu redundant diatur di sini lagi,” katanya.
Habiburokhman kemudian memastikan kepada Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RKUHAP apakah draf terbaru yang ditampilkan dalam rapat hari ini sudah disesuaikan.
Pertanyaan Habiburokhman kemudian dijawab “ya” oleh perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi. Akhirnya aturan itu disepakati.
Dengan hasil itu, Pasal 6 yang semula menyebut Polri sebagai penyidik utama resmi dihapus dari draf RKUHAP.
Kelima, Komisi III DPR dan pemerintah bersepakat dalam draf KUHAP yang baru mengatur penyidik bisa melakukan penyitaan tanpa izin pengadilan negeri (PN) dalam kondisi mendesak.
Namun, setelahnya penyidik tetap wajib melaporkan penyitaan mendesak tersebut ke PN paling lambat 5 hari usai pelaksanaan.
Adapun ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 112A draf RUU KUHAP yang ditampilkan di ruang rapat dan dibacakan oleh tim perumus dan tim sinkronisasi Komisi III DPR RI.
Pasal 112A Ayat (1) berbunyi: “Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri hanya atas benda bergerak dan untuk itu paling lama 5 hari kerja wajib meminta persetujuan kepada ketua pengadilan negeri”.
Waktu pelaporan penyitaan ke pengadilan negeri ini mengalami perubahan dari rancangan sebelumnya, yakni 2 hari.
Kemudian untuk Ayat (2): keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat 1, meliputi:
A. Letak geografis yang susah dijangkau
B. Tertangkap tangan
C. Tersangka berpotensi berupaya merusak dan menghilangkan alat bukti secara nyata
D. Benda atau aset itu mudah dipindahkan
E. Adanya ancaman serius thd keamanan nasional atau nyawa seseorang yang melakukan tindakan segera
F. Situasi berdasarkan penilaian penyidik
Untuk Ayat (3): Ketua PN paling lama 2 hari terhitung sejak penyidik meminta persetujuan penyitaan sebagainana dimaksud pada ayat 1 wajib mengeluarkan penetapan persetujuan atau penolakan.
Ketentuan lebih lanjut soal persetujuan penyitaan oleh PN diatur dalam Pasal 112B draf RUU KUHAP.
Di Ayat (1), dalam hal Ketua PN menolak untuk memberikan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 112A Ayat (1) Atau persetujuan penyitaan Pasal 112A Ayat (3) penetapan penolakan harus disertai dengan alasan.
Kemudian Ayat (2), terhadap penetapan penolakan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), penyidik dapat mengajukan kembali permohonan penyitaan terhadap benda yang sama kepada Ketua PN hanya 1 kali.
Untuk Ayat (3), penetapan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hasil penyitaan tidak dapat dijadikan alat bukti.
Wamenkum pun menyetujui Pasal 112B yang telah mengalami penyesuaian tersebut.
Keenam, dalam rapat Panja RKUHAP juga menyepakati adanya penambahan aturan baru yang mengatur pengamatan hakim dapat dijadikan alat bukti di pengadilan.
Tim perumus dan tim sinkronisasi RUU KUHAP menyebut adanya penambahan ini adalah hasil masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan hukum acara pidana.
“Perluasan alat bukti. Masukan dari koalisi masyarakat sipil untuk pembaharuan KUHAP. Pasal 222 penambahan huruf G pengamatan hakim,” demikian disampaikan perwakilan Timus Timsin dalam rapat
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyampaikan, adanya ketentuan tersebut sangat penting, terlebih untuk tindak pidana yang bersifat struktural, seperti kasus kekerasan seksual terhadap anak.
“Dalam tindak pidana tertentu, terutama yang struktural, seperti kekerasan seksual terhadap anak, kadang-kadang bukti yang ada sulit. Tapi bisa diyakini itu pelakunya. Kurang lebih begitu,” kata Habiburokhman.
“Makanya kalau hakimnya yakin, ya dihukum saja,” sambungnya.
Pemerintah melalui Wamwnkum pun menyatakan sepakat dengan penambahan ketentuan tersebut.
Adapun kekinian Rapat Panja RKUHAP atau RUU KUHAP ini masih terus berlangsung di ruang Rapat Komisi III DPR RI Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis sore. Pasal demi pasal masih terus dimatangkan dan dibahas. Ada 29 klaster yang dikuliti dalam draf RUU KUHAP yang baru.