Fantastis, Dugaan Korupsi Tunjangan Perumahan DPRD Indramayu Rugikan Negara Rp 16,8 Miliar

Galih Prasetyo Suara.Com
Sabtu, 15 November 2025 | 16:10 WIB
Fantastis, Dugaan Korupsi Tunjangan Perumahan DPRD Indramayu Rugikan Negara Rp 16,8 Miliar
Ilustrasi korupsi (shutterstock)
Baca 10 detik
  • Kasus dugaan korupsi Tuper DPRD Indramayu menjadi perhatian besar publik karena temuan BPK menunjukkan kerugian negara mencapai Rp16,8 miliar,
  • Kejati Jawa Barat telah memperluas penyelidikan secara signifikan
  • Publik dan PPPI khawatir proses hukum yang lambat dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum

Suara.com - Penanganan dugaan korupsi Tunjangan Perumahan (Tuper) DPRD Kabupaten Indramayu terus menjadi sorotan publik setelah angka kerugian negara yang disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp16,8 miliar.

Nominal fantastis itu membuat kasus ini disebut sebagai salah satu skandal terbesar dalam beberapa tahun terakhir di Indramayu.

Temuan tersebut menjadi dasar Pemuda Peduli Perubahan Indramayu (PPPI) untuk mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat mempercepat proses hukum.

“Kerugian negara diperkirakan sekitar Rp16,8 miliar,” ujar Ketua PPPI, Niken Haryanto.

Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Kejati Jabar telah memperluas penyelidikan.

Jumlah saksi yang dipanggil melonjak dari 7 menjadi 29 orang, berasal dari unsur legislatif maupun eksekutif.

“Info terakhir ada 29 orang yang dipanggil, mudah-mudahan semuanya diperiksa,” kata Niken.

Pemeriksaan tidak hanya menyasar anggota DPRD periode 2022, tetapi juga beberapa pihak eksekutif.

Ini mengindikasikan bahwa penyidik sedang menelusuri lebih dalam alur regulasi dan proses persetujuan anggaran Tuper.

Baca Juga: Bobby Nasution Terseret Dugaan Korupsi Jalan, KPK Berani Penuhi Perintah Pengadilan?

Kasus Tuper ini terjadi pada periode ketika Syaefudin, yang kini menjabat Wakil Bupati Indramayu, masih menjabat sebagai Ketua DPRD. Posisi strategisnya pada periode itu membuat publik mempertanyakan kemungkinan keterlibatannya.

Niken menegaskan bahwa dari sudut pandang PPPI, Syaefudin adalah pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab.

“Dilihat dari temuan BPK 2022, Syaefudin waktu itu masih ketua DPRD. Hemat kami, beliau seharusnya ikut bertanggung jawab. Terkait keterlibatan, jelas terlihat dari temuan tersebut, ” tegasnya.

Lambatnya proses hukum memunculkan kekhawatiran baru: hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

“Kalau masalah ini mandek, saya yakin masyarakat makin tidak percaya kepada aparat penegak hukum,” kata Niken.

Menurut PPPI, masyarakat sudah sangat mencermati perkembangan kasus ini karena nilainya yang besar dan dampaknya langsung kepada APBD, uang rakyat yang seharusnya untuk pelayanan publik.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI