- ICW mencatat kerugian negara Rp330,9 triliun sepanjang 2024, namun pemulihan hanya mencapai 4,84 persen.
- Tingkat pemulihan rendah diduga karena hakim kurang maksimal menerapkan Pasal 18 UU Tipikor terhadap terdakwa korupsi.
- Mayoritas terdakwa korupsi berasal dari sektor swasta, pemerintah daerah, dan kepala desa berdasarkan 1.768 putusan dikaji.
Suara.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan tingkat pemulihan kerugian keuangan negara dari hasil tindak pidana korupsi sepanjang 2024 masih rendah. Padahal, total kerugian keuangan negara yang dihitung ICW pada 2024 mencapai Rp330,9 triliun.
“Namun sayangnya, tingkat pemulihan kerugian negara masih sangat rendah, yakni 4,84 persen yang terdiri dari total denda sebesar Rp316 miliar dan total uang pengganti sebesar Rp16,58 triliun,” kata Peneliti ICW Wana Alamsyah di Jakarta Selatan, Kamis (4/12/2025).
Dia menilai tingkat pemulihan kerugian keuangan negara itu disebabkan tidak maksimalnya penerapan Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) oleh hakim.
“Sebab, hanya 63,56 persen terdakwa yang dikenakan uang pengganti dari seluruh terdakwa,” ujar Wana.
Laporan ini disampaikan setelah ICW melakukan kajian terhadap 1.768 putusan yang terdiri dari 1.168 putusan tingkat pertama, 358 putusan tingkat banding, 193 putusan kasasi, dan 49 putusan peninjauan kembali.
Dari seluruh putusan tersebut, terdapat 1.869 terdakwa, didominasi orang perseorangan, yaitu 1.865 terdakwa dan terpidana serta hanya 6 terdakwa korporasi. Pekerjaan terdakwa paling banyak berasal dari sektor swasta yaitu 603 orang, disusul pegawai pemerintah daerah 462 orang, dan kepala desa 204 orang.
Di sisi lain terdakwa dari jabatan strategis seperti legislatif, kepala daerah, dan pejabat BUMN masih relatif rendah, yaitu sebanyak 110 orang.
Vonis pengadilan menunjukkan bahwa Pasal 3 tentang penyalahgunaan kewenangan atau jabatan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara paling banyak digunakan, yaitu untuk 1.123 terdakwa.
Kemudian, 437 terdakwa dikenakan Pasal 2 ayat (1) mengenai perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Baca Juga: Kantor Bea Cukai Digeledah Kejagung, Dirjen: Belum Tentu Lakukan Kesalahan
“Rata-rata hukuman penjara adalah 3 tahun 3 bulan dengan vonis terberat 16 tahun dan teringan 10 bulan. Mudahnya pembuktian dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 memberikan kontribusi tersendiri bagi tingginya penggunaan kedua pasal ini. Instrumen pasal ini pada praktiknya masih menimbulkan permasalahan implementatif,” tutur Wana.
Berdasarkan sebaran wilayah, Sumatera Utara merupakan provinsi dengan putusan terbanyak, yaitu 148, diikuti Jawa Timur dengan 129 putusan, dan Sulawesi Selatan 123 putusan. Putusan paling sedikit ditemukan di Papua Barat dan Yogyakarta, masing-masing 17 putusan.
Dari kategori perkara, sektor utilitas mendominasi dengan 322 putusan, kemudian desa 310 putusan, pemerintahan 282 putusan, perbankan 153 putusan, dan pendidikan 129 putusan.
Hal ini menunjukkan bahwa korupsi di tingkat daerah masih memiliki kerentanan, terutama pada sektor utilitas dan pengelolaan anggaran desa. Pemerintah gagal menyusun mekanisme pencegahan yang konsisten untuk menekan angka korupsi,” tandas Wana.