- Anggota Komisi IV DPR RI, Rajiv, meminta evaluasi menyeluruh izin wisata, tambang, dan alih fungsi lahan Bandung Raya.
- Rajiv menilai kerusakan lingkungan Bandung Raya akibat akumulasi perizinan yang mengabaikan disiplin ekologis kawasan.
- Kritik dilayangkan karena banyak AMDAL bersifat administratif tanpa pengawasan implementasi yang memadai di lapangan.
Suara.com - Anggota Komisi IV DPR RI, Rajiv, menyerukan langkah tegas kepada pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin wisata, pertambangan, dan alih fungsi lahan di kawasan Bandung Raya, Jawa Barat.
Desakan ini muncul seiring keprihatinan Rajiv terhadap kondisi lingkungan di Bandung Raya.
Menurutnya, persoalan lingkungan yang terjadi kekinian bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan akibat akumulasi kebijakan perizinan yang kurang memperhatikan disiplin ekologis.
"Evaluasi total diperlukan agar tidak ada lagi aktivitas yang bertentangan dengan fungsi ekologis kawasan," ujar Rajiv kepada wartawan, dikutip Senin (15/12/2025).
Legislator dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat II yang meliputi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat ini menyoroti alih fungsi lahan yang masif.
Lahan pertanian dan kawasan hijau kini berubah menjadi ruang terbangun, yang secara ilmiah menurunkan kemampuan tanah menyerap air (infiltrasi) dan meningkatkan aliran air di permukaan.
Ia memperingatkan ancaman jangka panjang jika kondisi ini dibiarkan.
"Dalam jangka panjang, wilayah ini akan menghadapi paradoks ekologis. Kerusakan lingkungan di wilayah hulu akan berdampak langsung pada kawasan hilir, mulai dari banjir, longsor, hingga krisis air bersih," jelasnya.
Politisi Partai NasDem ini juga mengkritik lemahnya pengawasan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ia menilai banyak izin keluar tanpa kajian yang mendalam.
Baca Juga: Curhat Komunitas DAS Balantieng, Hulu Menyoal Kompensasi, Hilir Tuntut Ketegasan Polisi
"AMDAL yang hanya bersifat administratif tanpa pengawasan implementasi di lapangan," ungkapnya.
Untuk itu, ia mendorong kementerian dan lembaga terkait untuk segera melakukan sinkronisasi data perizinan. Hal ini mencakup izin pariwisata berbasis alam, pertambangan, serta perubahan peruntukan lahan yang berpotensi menabrak Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kawasan lindung.
"Pembangunan boleh berjalan, tetapi harus sejalan dengan kemampuan alam dan tata ruang yang telah ditetapkan. Pembangunan yang kuat adalah pembangunan yang berpijak pada keberlanjutan," tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan prinsip kehati-hatian. Langkah korektif harus diambil sebelum kerusakan makin parah.
"Negara tidak boleh menunggu kerusakan terjadi baru bertindak. Evaluasi izin harus menjadi langkah korektif untuk mencegah kerusakan yang lebih luas dan permanen," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa penguatan tata kelola sumber daya alam ini sejalan dengan visi Asta Cita Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, utamanya dalam menjaga kedaulatan lingkungan.