- Profesor Ryaas Rasyid menilai Polri menjadi beban Presiden Prabowo akibat erosi profesionalisme era Jokowi.
- Penempatan jenderal polisi di jabatan sipil dinilai sebagai pemanfaatan politik yang mengikis independensi institusi.
- Residu loyalitas rezim sebelumnya menciptakan hambatan bagi reformasi Polri di bawah kepemimpinan baru.
Suara.com - Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kini dinilai menjadi salah satu beban terberat di pundak Presiden Prabowo Subianto. Beban ini disebut-sebut merupakan warisan dari 'dosa' politik yang terjadi di era pemerintahan Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi), yang dinilai telah menjerumuskan Polri terlalu jauh ke dalam pusaran kepentingan kekuasaan.
Analisis tajam ini disampaikan oleh Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Profesor Ryaas Rasyid. Menurutnya, profesionalisme Polri terkikis secara sistematis selama satu dekade terakhir akibat pemanfaatan politik yang berlebihan.
Salah satu sorotan utamanya adalah masifnya penempatan jenderal-jenderal polisi di berbagai jabatan sipil atau kementerian. Ryaas menilai langkah ini bukan didasari oleh kebutuhan organisasi pemerintahan, melainkan sekadar menjadi "lahan parkir" bagi perwira tinggi yang menumpuk di internal Polri.
"Ini sudah keliru pendekatannya, jadi bukan orang itu dijadikan tempat, seharusnya tempat itu yang membutuhkan orang, sekarang seolah-olah struktur (sipil) menjadi objek kepentingan institusi yang mau mendominasi," ujar Ryaas Rasyid dalam diskusi yang diunggah di kanal Youtube Forum Keadilan TV, Rabu (2/12/2025).
Secara gamblang, Ryaas menyebut bahwa Presiden Jokowi memiliki andil besar dalam merusak independensi Polri dengan memanfaatkan institusi tersebut demi mengamankan kepentingan politik pribadinya.
Praktik ini, menurutnya, menciptakan sebuah lingkaran ketergantungan dan utang budi yang sulit diputus, bahkan setelah Jokowi tak lagi berkuasa.
"Jokowi memanfaatkan polisi untuk kepentingannya dia. Karena dimanfaatkan, mereka terjerumus, menikmati, dan akhirnya terperangkap," katanya.
Dampak dari "utang budi" ini terasa hingga kini. Ryaas melihat adanya residu loyalitas kepada rezim sebelumnya yang menghambat Polri untuk kembali menjadi institusi yang sepenuhnya profesional dan rasional di bawah kepemimpinan baru.
“Setelah Jokowi berhenti pun, masih ada perasaan utang budi bahwa pesan Pak Jokowi harus diselesaikan. Ini bertentangan dengan prinsip birokrasi yang seharusnya rasional," tambahnya.
Baca Juga: Sebut Polri Terjebak Permainan Politik Jokowi, Prof Ryaas Rasyid: Mereka Tidak Sadar!
Kondisi inilah yang pada akhirnya menjadi dilema bagi Presiden Prabowo Subianto. Di satu sisi, ada tuntutan publik yang besar untuk mereformasi Polri secara total.
Di sisi lain, Prabowo memiliki keterikatan politik yang kuat dengan Jokowi, yang membuat setiap langkah drastis menjadi penuh kalkulasi.
"Kalau Pak Prabowo sekarang seperti ada beban yang susah dijelaskan," kata Ryaas.
Ia mengingatkan publik pada momen teriakan "Hidup Jokowi" yang pernah dilontarkan Prabowo, sebuah simbol yang menegaskan bahwa keduanya adalah satu kesatuan politik yang tak terpisahkan.
Terkait rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) pada Januari tahun depan guna menata polemik jabatan sipil bagi anggota Polri, Ryaas memandangnya sebagai langkah kompromi politik semata, bukan solusi ideal.
Meski demikian, ia berharap proses ini bisa menjadi gerbang awal untuk pembenahan yang lebih serius.