Namun, alih-alih mendapat tanggapan, mereka justru dihadapkan pada kesunyian. Chairman Fang Yunzhou, sosok yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi antara perusahaan dan para mitra, justru memilih diam. Tidak ada klarifikasi, tidak ada langkah konkret. Seolah-olah keluhan para diler hanya angin lalu.
Padahal, roda bisnis otomotif tidak hanya digerakkan oleh pabrik dan teknologi—diler adalah ujung tombak yang langsung berhadapan dengan pelanggan. Ketika kepercayaan mereka mulai luntur, efek domino bisa saja terjadi: dari anjloknya penjualan hingga kerusakan reputasi merek.
Ironis memang, ketika janji mobilitas masa depan justru berakhir dengan tumpukan masalah masa kini. Kisah Neta Auto menjadi pengingat pahit bahwa di balik kilau teknologi hijau, tetap diperlukan fondasi bisnis yang kokoh dan kepercayaan yang tak tergoyahkan.
Di tengah gemuruh revolusi kendaraan listrik, satu nama justru tengah terseok di ambang kehancuran: Neta Auto.
Dulu dielu-elukan sebagai salah satu bintang muda industri otomotif China, kini nasib Neta bak kapal yang nyaris karam—terombang-ambing di tengah badai.
Ribuan pelanggan menahan napas, ratusan diler menanti keajaiban, dan masa depan mobil listrik China pun ikut tersandera dalam ketidakpastian.
Apa yang sebenarnya terjadi? Neta Auto, yang pernah menjanjikan inovasi dan teknologi ramah lingkungan, kini justru terjebak dalam krisis yang digalinya sendiri. Kesalahan strategi, tekanan pasar, hingga persaingan brutal membuat raksasa muda ini terpeleset dalam langkahnya.
Namun, harapan belum sepenuhnya padam. Masih ada peluang bagi Neta untuk bangkit—jika mereka mampu berbenah dan kembali merebut kepercayaan publik.
Pertanyaannya kini: apakah cukup waktu dan energi tersisa untuk menyelamatkan kapal yang mulai bocor ini?
Baca Juga: AION Indonesia Beri Kesempatan Konsumen Jajal Mobil Listrik Secara Langsung
Bangkit atau tenggelam, nasib Neta Auto kini menjadi kisah yang tak hanya menarik, tapi juga penting bagi peta masa depan mobil listrik dunia.