Selain kendaraan listrik, industri otomotif yang memproduksi kendaraan hybrid dan tergabung dalam program low carbon emission vehicle (LCEV) juga mendapatkan insentif PPnBM DTP sebesar 3%, sebagai bentuk dukungan terhadap transisi bertahap menuju teknologi kendaraan yang lebih bersih.
Tunggul menegaskan, insentif-insentif ini merupakan stimulus penting dalam membangun ekosistem kendaraan listrik nasional yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
“Kami percaya, dengan sinergi regulasi, insentif, dan investasi, Indonesia mampu menjadi pemain utama dalam industri kendaraan masa depan,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menyatakan, Gaikindo mendukung pemberian insentif pajak mobil, karena bisa menjadi obat mujarab untuk menaikkan penjualan mobil dalam jangka pendek. Ini sudah dibuktikan pada 2021.
Dia mengakui, saat memberikan insentif, penerimaan negara bisa berkurang. Tetapi akan kembali ternormalisasi begitu pasar mobil pulih.
“Kami tidak minta utang atau subsidi, melainkan penundaan penyetoran pajak pada periode tertentu. Begitu ekonomi bangkit, penerimaan pemerintah akan kembali,” kata dia.
Dia menyatakan, Gaikindo juga menyerukan evaluasi kebijakan insentif otomotif yang bisa berdampak jangka panjang dan memastikan target yang dicanangkan tercapai. Sebagai contoh, target produksi BEV pada 2030 mencapai 600 ribu unit.
Semua pihak, kata dia, harus memastikan BEV diproduksi di dalam negeri, bahkan kalau bisa diekspor. Artinya, Indonesia menjadi basis produksi BEV domestik dan ekspor.
Hal tak kalah penting, dia menyatakan, mobil hybrid juga menjadi bagian mobil elektrifikasi. Mobil ICE tidak bisa dikesampingkan, lantaran masih menjadi pilar industri mobil. Pun dengan LCGC yang mengeluarkan emisi rendah dengan harga terjangkau.
Baca Juga: Toyota Bantah Akan Akuisisi Neta, Perusahaan Mobil Listrik China yang Disebut Segera Bangkrut
“Intinya, otomotif membutuhkan kebijakan long term,” pungkas Kukuh.