Suara.com - Di tengah tren mobil makin canggih dan hemat bensin, ada satu fitur yang justru terancam dihapus: auto start/stop atau start-stop engine.
Fitur ini bekerja dengan cara mematikan mesin saat mobil berhenti sejenak, misalnya di lampu merah, dan menyalakannya kembali saat pedal gas diinjak. Tujuannya jelas: mengurangi konsumsi BBM dan emisi.
Tapi belakangan, fitur ini malah jadi bahan perdebatan. Banyak pengemudi merasa terganggu, dan kini bahkan lembaga lingkungan Amerika Serikat, EPA (Environmental Protection Agency), mulai mempertanyakan efektivitasnya.
Efisiensi yang Tak Disukai Banyak Orang
Secara teknis, fitur start/stop memang terbukti bisa menghemat bahan bakar hingga 5-14 persen.
Di kota besar dengan lalu lintas padat, fitur ini sangat berguna karena mobil sering berhenti dan jalan.
Tapi di sisi lain, banyak pengemudi merasa mesin yang mati-nyala bikin pengalaman berkendara jadi kurang nyaman.
Beberapa bahkan mencari cara untuk menonaktifkan fitur ini secara permanen. Padahal, sebagian besar mobil modern sudah menyediakan tombol untuk mematikan fitur tersebut secara manual.
Dikutip dari Carscoops, Albert Gore dari Zero Emission Transportation Association menyebut, “Kalau nggak suka, tinggal dimatikan. Kenapa harus dihapus dari sistem?”
Baca Juga: Tips Tukar Tambah Mobil Bekas di GIIAS 2025 Agar Harga Tetap Tinggi
EPA: "Cuma Trofi Partisipasi Iklim"

Pernyataan paling tajam datang dari Kepala EPA, Lee Zeldin, yang menyebut fitur start/stop sebagai “climate participation trophy”-alias penghargaan basa-basi untuk kontribusi iklim.
Ia menilai fitur ini tidak memberikan dampak signifikan dan justru membuat jutaan pengemudi frustrasi.
EPA bahkan mengisyaratkan akan menghapus insentif bagi produsen mobil yang menyematkan fitur ini.
Sebelumnya, fitur start/stop bisa membantu pabrikan memenuhi target efisiensi bahan bakar dan mendapatkan kredit dari pemerintah. Tapi jika insentif itu dihapus, fitur ini bisa saja ditinggalkan.
Apa Dampaknya untuk Mobil di Indonesia?