Salah satu potensi kekayaan intelektual komunal yang perlu didorong agar mampu bersaing di pasar global adalah produk yang mengandalkan potensi karakteristik geografis Indonesia yang dikenal sebagai indikasi geografis (IG).
“Indikasi geografis terbukti dapat menjadi katalisator bagi nation branding dan turut mendukung kemandirian ekonomi suatu negara,” Freddy menuturkan.
Dia mencontohkan, kopi Gayo dari Aceh menjadi produk IG pertama Indonesia yang diterima di Uni Eropa. Dari sisi harga, sebelum kopi Gayo terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, harganya hanya dibandrol Rp 50 ribu per kilogramnya. Namun setelah terdaftar, harga per kilogramnya meningkat menjadi Rp 120 ribu.
Selain itu, terdaftarnya produk IG garam Amed Bali di tahun 2016, membuka potensi ecotourism bagi wilayah Kabupaten Karang Asem tempat asal dari garam Amed berada.
“Masyarakat penduduk di sana memanfaatkan daerah produk IG-nya tersebut menjadi objek wisata. Melalui gelaran festival garam Amed yang menyuguhkan tontonan memproduksi garam tradisional,” jelas Freddy.
Contoh lain dari pemanfataan KI menjadi nation branding Indonesia adalah penggunaan kain endek Bali oleh rumah mode Christian Dior pada gelaran Paris Fashion Week 2021. Setidaknya dari 86 desain koleksi terbaru Christian Dior, terdapat sembilan desain yang menggunakan kain endek Bali.
Menurut Freddy, dari contoh tersebut, terbukti bahwa potensi KI di Indonesia dapat menjadi aset ekonomi yang sangat bernilai apabila dikelola dengan benar.
“Sekaligus dapat membentuk identitas bangsa Indonesia untuk dikenal lebih luas lagi oleh dunia internasional,” tegas Freddy.
Untuk mengimplementasikan hal tersebut, perlu adanya manajemen KI bagi pengembangan ekonomi dan industri melalui skema multiple-helix collaboration atau kolaborasi dari segenap pemangku kepentingan KI nasional, yang terdiri dari pemerintah, akademisi, kalangan industri, pegiat KI, hingga kreator dan inventor, serta aparat penegak hukum di bidang KI.
Baca Juga: Literasi Digital Penting untuk UMKM di Masa Depan