Kendati begitu, berbagai upaya tersebut bukan hanya tugas pemerintah pusat. Otoritas daerah juga harus lebih aktif untuk mengalokasikan anggaran adaptasi dan mitigasi bencana akibat perubahan iklim. Tercatat, pemerintah daerah belum memiliki program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).
Kebijakan penataan ruang harus dirombak
Mahawan berpendapat, tingginya bencana hidrometeorologi, terutama banjir, disebabkan oleh kebijakan tata ruang Indonesia yang centang perenang. Misalnya, banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah terjadi karena kawasan daerah aliran sungai (DAS) yang rusak akibat alih fungsi lahan.

Supaya keadaan tak bertambah buruk, pemerintah pusat hingga otoritas kabupaten kota perlu memperbaiki paradigma perencanaan tata ruang berdasarkan risiko bencana di suatu daerah. Saat ini, penyusunan rencana tata ruang wilayah belum mengadopsi peta risiko bencana BNPB.
Langkah adopsi itu dapat dilakukan untuk menentukan sejumlah kawasan yang harus dilindungi untuk mencegah terjadinya bencana di masa depan.
“Tata ruang itu bisa dihitung, lahan kalau digunakan, emisinya berapa. Green politics kita masih kurang,” ujar Mahawan.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Baca Juga: Studi: Banjir Rob Akan 100 Keli Lebih Sering Terjadi di Indonesia