Risiko Bencana di Indonesia Berlipat Ganda Akibat Krisis Iklim, Kita Harus Beradaptasi

Liberty Jemadu Suara.Com
Selasa, 07 September 2021 | 06:15 WIB
Risiko Bencana di Indonesia Berlipat Ganda Akibat Krisis Iklim, Kita Harus Beradaptasi
Sejumlah anak bernaung di bawah sendok ekskavator usai terjadi banjir bandang susulan di Desa Rogo, Dolo Selatan, Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (6/9/2021). ANTARA FOTO/Basri Marzuki
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Mahawan menyatakan pemerintah harus melakukan upaya adaptasi bencana secara drastis. Deteksi kejadian harus dilakukan jauh lebih awal. Sejauh ini, kemampuan Indonesia mengantisipasi cuaca ekstrem masih lemah.

Salah satu contohnya adalah siklon tropis Seroja yang menghantam sejumlah wilayah Nusa Tenggara Timur dan perairan sekitarnya, 4 April lalu. Kebanyakan media baru aktif memberitakan informasi risiko fenomena itu pada 3 April, atau sehari sebelum kejadian.

Karena itu, sosialisasi risiko bencana kepada masyarakat juga harus dilakukan sesering mungkin.

“Bencana meningkat dengan pesat, masyarakat harus sadar bencana,” ujar Mahawan, saat dihubungi pada pertengahan Agustus.

Badai yang lebih sering terjadi juga berisiko mengakibatkan abrasi pantai. Sebagai upaya mitigasi, upaya pembuatan tanggul dan restorasi kawasan mangrove harus menjadi prioritas.

Kendati begitu, berbagai upaya tersebut bukan hanya tugas pemerintah pusat. Otoritas daerah juga harus lebih aktif untuk mengalokasikan anggaran adaptasi dan mitigasi bencana akibat perubahan iklim. Tercatat, pemerintah daerah belum memiliki program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).

Kebijakan penataan ruang harus dirombak

Mahawan berpendapat, tingginya bencana hidrometeorologi, terutama banjir, disebabkan oleh kebijakan tata ruang Indonesia yang centang perenang. Misalnya, banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah terjadi karena kawasan daerah aliran sungai (DAS) yang rusak akibat alih fungsi lahan.

Foto udara kawasan terdampak banjir bandang aliran Sungai Cimanuk di Kampung Cimacan, Tarogong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (22/9). (Antara)
Foto udara kawasan terdampak banjir bandang aliran Sungai Cimanuk di Kampung Cimacan, Tarogong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (22/9). (Antara)

Supaya keadaan tak bertambah buruk, pemerintah pusat hingga otoritas kabupaten kota perlu memperbaiki paradigma perencanaan tata ruang berdasarkan risiko bencana di suatu daerah. Saat ini, penyusunan rencana tata ruang wilayah belum mengadopsi peta risiko bencana BNPB.

Baca Juga: Studi: Banjir Rob Akan 100 Keli Lebih Sering Terjadi di Indonesia

Langkah adopsi itu dapat dilakukan untuk menentukan sejumlah kawasan yang harus dilindungi untuk mencegah terjadinya bencana di masa depan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI