Adapun hak-hak digital tersebut mencakup hak untuk mengakses Internet, hak untuk bebas berekspresi, dan hak atas rasa aman di ranah digital (digital space).
Sebagai hak asasi manusia (HAM) yang berlaku di ranah digital, tambah Damar, hak-hak digital harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Sayangnya, berdasarkan pemantauan SAFEnet selama ini, pelanggaran terhadap hak-hak digital tersebut makin marak.
"Bentuk pelanggaran itu, misalnya, adalah pembatasan atau bahkan pemblokiran akses Internet. Hal ini pernah terjadi pada Mei dan Agustus 2019 ketika pemerintah secara semena-mena memutus akses Internet dengan alasan stabilitas," papar Damar.
Dari sana, SAFEnet bersama masyarakat sipil lain kemudian menggugat pemutusan tersebut ke PTUN Jakarta. Hakim memutuskan bahwa pemutusan Internet itu melanggar hukum.
"Karena akses Internet merupakan hak digital paling fundamental agar warga negara bisa menggunakan hak lain, termasuk hak ekonomi, sosial, dan budayanya," tegas Damar.
Pelanggaran hak digital lain, menurut Damar, adalah maraknya kriminalisasi terhadap ekspresi di ranah digital. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), semakin banyak warga dipidana atas ekspresi mereka.
Dua kasus terakhir, contoh Damar, adalah kriminalisasi terhadap dosen Saiful Mahdi di Banda Aceh dan konsumen klinik kecantikan Stella Monica di Surabaya.
Pelanggaran hak-hak digital itu juga semakin marak dengan masifnya serangan digital terhadap kelompok kritis.
Dalam pemantauan SAFEnet, serangan digital terhadap aktivis dan jurnalis semakin marak ketika muncul isu-isu kontroversial seperti pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu.
Baca Juga: Gebrakan Awal Tahun, Toyota Luncurkan Dua SUV Sekaligus: Land Cruiser dan Fortuner
Menyadari bahwa pelanggaran semakin masif dan perlu untuk melibatkan publik lebih luas dalam pemantauan tersebut, maka SAFEnet meluncurkan platform aduan daring.