Film-film horor juga selama ini banyak menggambarkan sosok perempuan dalam film horor Indonesia sebagai pemberontak yang sedang menghadapi ketidakadilan yang dilakukan oleh laki-laki, baik secara personal maupun akibat sistem.
Pemberontakan itu sendiri biasanya muncul melalui dua pola narasi. Pertama, pemberontakan secara fisik dengan cara memukul, menghujamkan pisau, dan mencekik leher. Kedua, perlawanan atau pemberontakann dilakukan secara psikologis dengan cara menghantui dan meneror orang yang mencelakainya.
Dengan kata lain, sosok perempuan dalam film horor yang muncul sebagai hantu bertujuan untuk membalas dendam atas ketidakadilan yang mereka terima atas keperempuanan mereka sendiri.
Film horor hampir selalu menampilkan paradoks atas sosok perempuan. Di satu sisi, mereka dikonstruksi sebagai korban, sedangkan di sisi lain, mereka punya sifat layaknya monster. Perempuan dalam film awalnya ditampilkan sebagai korban, lalu kemudian berubah menjadi hantu yang menampilkan sisi monster.
Feminisme direpresentasikan sebagai penyelewangan sistem
Perempuan sebagai hantu dalam film horor juga kerap tampil sebagai peneror dengan berbagai tindakannya yang dianggap menyimpang. Ini termasuk suara tertawa mereka yang keras dan terbahak-bahak, seperti dalam film Kuntilanak (2018).
Tertawa terbahak-bahak atau terkikih-kikih seperti yang dilakukan pemeran hantu perempuan di dalam film, atau tertawa seperti yang dilakukan para setan perempuan dalam banyak budaya, merupakan penanda perempuan sebagai monster.
Ini merupakan alasan mengapa sosok hantu perempuan seperti kuntilanak, sundel bolong, wewe, dan sebagainya memiliki tawa khas tersebut.
Secara historis, representasi perempuan sebagai hantu atau monster ini digunakan untuk menjustifikasi pembatasan terhadap perempuan. Representasi ini menunjukkan bahwa jika perempuan tidak berlaku sebagaimana peran yang telah ditetapkan untuknya, maka ia akan berubah menjadi monster atau sesuatu yang menakutkan dan tidak diterima masyarakat.
Perempuan yang tertawa keras seringkali dianggap tidak diterima secara sosial, kultural, dan seksual. Femininitas perempuan di dalam banyak kebudayaan seringkali dikonstruksi sebagai sesuatu yang mengganggu sistem, identitas, dan tatanan serta tidak taat pada posisi, batas, dan aturan yang ada.
Baca Juga: 8 Fakta Film Ivanna, Selain Indonesia Bakal Tayang di 3 Negara Ini
Artinya, seksualitas, tubuh dan diri perempuan dalam film horor Indonesia sebenarnya mengalami represi.
Riset kami juga menunjukkan pola naratif yang cenderung seragam, yakni adanya dominasi adegan-adegan eksploitasi perempuan.
Dalam film-film horor pada periode 1970-1999, misalnya, tubuh perempuan mengalami eksploitasi. Film tersebut menonjolkan bagian tertentu seperti dada, pundak, paha, pinggul, dan bokong, serta ekspresi hasrat perempuan terhadap laki-laki melalui gestur dan ekspresi wajah yang vulgar. Selain itu, sosok perempuan juga digambarkan sebagai sosok yang seksi dan agresif.
Terakhir, budaya patriarki mengeksploitasi perempuan dengan cara menempatkannya sebagai objek hasrat laki-laki, sumber masalah, dan korban kekerasan – hal-hal yang membuat protagonis perempuan berubah menjadi sosok hantu dalam film horor.
Sejak awal tahun 2000-an, tepatnya setelah film Jelangkung (2001) yang disebut-sebut sebagai penanda awal mula film horor kontemporer Indonesia, penyajian plot dan gaya naratif film horor Indonesia mulai mengalami pergeseran. Namun, tetap saja perempuan menempati posisi dominan sebagai sumber teror.
Dicari: perspektif progresif untuk industri film horor Indonesia`