“Saat ini, Indonesia tertinggal dalam pengembangan 5G, dengan kecepatan rata-rata baru mencapai 30 Mbps, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di ASEAN,” ungkapnya.
![Diskusi bahas lelang frekuensi, Jakaeta, (Selasa/24/2/2025), [Suara.com/Dythia]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/24/10049-diskusi-bahas-lelang-frekuensi.jpg)
Ia menekankan bahwa regulasi yang adaptif dan kolaboratif sangat dibutuhkan untuk memastikan transformasi digital berjalan berkelanjutan dan kompetitif.
Dalam dunia telekomunikasi, berbagai model kompetisi dapat diterapkan dalam pengelolaan frekuensi ini.
Sigit menjelaskan bahwa terdapat beberapa opsi, mulai dari Infrastructure-Based Competition, Wholesale Access Model, hingga Public-Private Partnership.
“Setiap model memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Untuk Indonesia, pendekatan hibrida yang melibatkan pemerintah daerah bisa menjadi solusi yang tepat,” ujarnya.
Selain itu, tarif layanan setelah lelang juga harus menjadi perhatian.
Ia menyoroti bahwa harga untuk layanan seluler dan FWA (Fixed Wireless Access) sebaiknya dibedakan.
Dia menambahkan, kompetisi harga seluler bersifat nasional, sedangkan harga FWA bisa lebih variatif, hingga tingkat lokasi rumah.
"Oleh karena itu, sebaiknya ada perbedaan harga FWA antara wilayah perkotaan dan pedesaan agar lebih adil,” pungkasnya.
Baca Juga: Riset OpenSignal: Kecepatan Internet Indonesia Tempati Posisi 5 di ASEAN, Kalah dari Malaysia