RUU TNI Sah Jadi UU, Ini Ancaman Prajurit Militer Jika Masuk Ruang Digital

Dicky Prastya Suara.Com
Kamis, 20 Maret 2025 | 20:36 WIB
RUU TNI Sah Jadi UU, Ini Ancaman Prajurit Militer Jika Masuk Ruang Digital
Ilustrasi TNI (Pexels/chaikong2511)

Suara.com - Pemerintah dan DPR baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi UU TNI. Pengesahan regulasi baru ini memicu masuknya militer ke ranah sipil, tak terkecuali ruang siber.

Koalisi Masyarakat Sipil Digital Democracy Resilience Network (DDRN) mengatakan kalau UU TNI tersebut mengandung ketentuan yang membuka peluang penggembosan demokrasi digital dan pelanggaran hak-hak digital.

"Seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, dan hak atas informasi," ungkap DDRN yang diunggah oleh akun X SafeNET, dikutip Kamis (20/3/2025).

Dalam draf final RUU TNI, DDRN menyatakan adanya perluasan fungsi pada Pasal 7 Ayat 2b mengenai operasi militer selain perang (OMSP). Fungsi TNI diperluas untuk membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber.
 
Pada penjelasannya, disebutkan bahwa TNI berperan serta dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan atau cyber defence. Menurut mereka, pasal ini bersifat karet dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membuka keran militerisasi ruang siber.

"Militerisasi ruang siber dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang koersif-militeristik seperti penyensoran, operasi informasi, hingga pengetatan regulasi terkait ekspresi daring," imbuh DDRN.

Setidaknya ada empat poin dari DDRN soal efek TNI masuk ke ranah digital. Berikut uraiannya.

1. Negara bisa batasi ruang sipil di ranah digital

DDRN menilai kalau perluasan OMSP ke ruang siber berpotensi menjadi alat justifikasi bagi Negara untuk mengambil kebijakan-kebijakan koersif-militeristik yang membatasi ruang sipil.

Dicontohkan, tentara bisa melakukan pembatasan informasi, penurunan konten, pemblokiran website, hingga pengetatan regulasi ekspresi online dengan dalih ancaman propaganda asing tanpa penilaian transparan dan rasional.

Menurutnya, semakin banyak intervensi yang dilakukan oleh negara akan selalu beriringan dengan menurunnya kebebasan ruang sipil.

Baca Juga: La Nina Ancam Panen Raya Petani, Waka Komisi IV DPR Desak Pemerintah Lakukan Hal Ini

2. Pemerintah gagal melihat persoalan ancaman siber

DDRN mengatakan kalau Pemerintah gagal melihat persoalan ancaman siber secara holistik dan komprehensif. Menurutnya, ancaman siber dipandang sebatas ancaman terhadap negara dan militer.

"Padahal terdapat peraturan lain yang jauh lebih mendesak untuk dibahas dan disahkan seperti peraturan mengenai akuntabilitas korporasi digital yang bertanggung jawab atas operasi informasi di platformnya," kata DDRN.

Selain itu, regulasi lain yang sekiranya perlu disahkan adalah peraturan pelaksana Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) agar dapat berlaku secara efektif.

"Dibandingkan dengan memperluas fungsi TNI, peraturan-peraturan ini justru lebih penting karena dapat memberikan dampak dan manfaat langsung bagi masyarakat, seperti melindungi privasi serta menjamin hak atas informasi yang kredibel," papar DDRN.

3. Konflik kepentingan TNI dengan Komdigi-BSSN

DDRN menyebut kalau peran TNI berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).

Padahal dalam UU ITE, katanya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) adalah penanggung jawab utama penanganan konten-konten ilegal dan berbahaya.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI