Nisan Aceh Kuno Ditemukan di Sulsel, Peneliti Ungkap Hal Ini

Muhammad Yunus Suara.Com
Kamis, 29 Mei 2025 | 08:37 WIB
Nisan Aceh Kuno Ditemukan di Sulsel, Peneliti Ungkap Hal Ini
Ilustrasi: batu nisan Aceh, salah satu bentuk artefak yang sangat langka di Sulawesi Selatan dan memiliki nilai sejarah tinggi [Suara.com/Istimewa]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tim peneliti gabungan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN.

Menemukan sebuah nisan kuno yang berasal dari Aceh. Usianya sekitar 5 abad atau 525 tahun.

Dalam rangkaian penelitian bertajuk "Penelusuran Toponimi Kuno Pesisir Sulawesi Selatan", tim menemukan nisan itu di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Nisan tersebut ditemukan di Kampung Lembang, Kecamatan Labakkang, tepatnya di kompleks makam Somba Labakkang.

Temuan ini bukan sekadar batu nisan tua. Nisan tersebut dikenal sebagai "Nisan Aceh".

Salah satu bentuk artefak kebudayaan yang sangat langka di Sulawesi Selatan dan memiliki nilai sejarah tinggi.

Nisan ini digunakan pada makam seorang tokoh bangsawan bernama I La Upa Bagenda Ali Matinroe ri Sikkiri’na, yang dikenal sebagai Somba Labakkang.

Berdasarkan sumber lontara La’bakkang, Bagenda Ali hidup sekitar pertengahan abad ke-18.

Ketua tim peneliti, Profesor Muhlis Hadrawi mengatakan, penelitian ini dilakukan dalam rangka menelusuri toponimi kuno atau nama-nama tempat bersejarah di wilayah pesisir barat Sulawesi Selatan.

Baca Juga: Mengunjungi Museum Internasional Biografi Nabi Muhammad di Makkah

Kabupaten Pangkep menjadi salah satu fokus utama mengingat kekayaan sejarah dan warisan budaya yang tersimpan di daerah ini.

Penelitian dimulai pada 17 Mei dan dijadwalkan berlangsung selama beberapa hari ke depan.

"Kami mengidentifikasi bahwa nisan tersebut merupakan tipe C, yang umumnya hanya digunakan oleh para bangsawan tinggi atau tokoh penting pada masa awal masuknya Islam ke Sulawesi Selatan," ujar Prof Muhlis.

Dari catatan arkeolog, nisan tipe C diproduksi di Aceh pada tahun 1.500-an.

Ia menambahkan, keberadaan nisan Aceh di Sulsel sangat terbatas. Hanya segelintir tokoh yang memiliki nisan jenis ini.

Seperti Sultan Alauddin dan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa, serta La Pareppa To Soppewali.

Sementara, di Bone, nisan Aceh hanya digunakan oleh Ibunda La Patau Matanna Tikka, Mappolo Bombang, dan ayahandanya, La Pakokoe.

Maka dari itu, penemuan nisan serupa di Pangkep, terutama di makam Somba Labakkang menunjukkan status dan pengaruh luar biasa dari tokoh tersebut dalam struktur sosial dan politik masa itu.

"Penemuan ini membuka kembali lembaran sejarah yang selama ini belum banyak diketahui publik.

"Pangkep ternyata menyimpan jejak-jejak penting masa lalu yang patut dirawat dan dikenalkan lebih luas. Nisan ini sangat langka di Sulawesi Selatan. Hanya bangsawan tinggi dan kerajaan besar yang memilikinya," sebutnya.

Peneliti di pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Makmur mengatakan, nisan Aceh bukan hanya menunjukkan status sosial tinggi.

Tetapi juga merupakan bukti penting dalam konteks arkeologi dan sejarah budaya Islam di kawasan ini.

Tim juga pernah mengidentifikasi nisan Aceh tipe lain, seperti tipe A. Namun, yang dianggap paling tinggi nilainya adalah tipe A.

"Nisan tipe C yang digunakan Somba Labakkang menunjukkan bahwa beliau adalah salah satu bangsawan yang memeluk Islam pada masa awal penyebarannya di Sulawesi Selatan. Ini bukan sekadar simbol keagamaan, tetapi juga politik dan prestise sosial," jelasnya.

Dosen Arkeologi Unhas Hasanuddin, menambahkan bahwa nisan tipe C yang ditemukan memperkuat dugaan adanya hubungan erat antara Kesultanan Aceh dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan sejak abad ke-17.

Menurutnya, hubungan tersebut tidak hanya bersifat dagang, tetapi juga mencakup penyebaran agama, pengaruh budaya, dan bahkan pertalian keluarga antar bangsawan.

"Jenis nisan seperti ini tidak diberikan kepada sembarang orang. Hanya tokoh yang memiliki kharisma keagamaan tinggi, serta koneksi politik dan ekonomi yang kuat, yang bisa mendapatkan nisan Aceh," ungkapnya.

Ia mencontohkan, bahkan Arung Palakka, tokoh besar Bugis, hanya memberikan nisan jenis ini kepada ayah dan ibunya.

Hasanuddin yang juga anggota BRIN menjelaskan, penyebaran nisan Aceh bisa menjadi indikator penting dalam memetakan jalur perdagangan dan penyiaran agama pada masa lalu.

"Kita bisa menafsirkan bahwa daerah-daerah yang memiliki nisan Aceh dulunya adalah simpul peradaban, baik dalam konteks spiritual, politik, maupun ekonomi. Dalam konteks ini, Pangkep bisa jadi memiliki posisi strategis dalam jaringan inter regional antara Sulawesi dan Aceh," jelasnya.

Meski makam Somba Labakkang telah diidentifikasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), hingga kini situs tersebut belum ditetapkan secara resmi sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah.

Pada bulan April lalu, tim ini juga menemukan batu nisan Aceh pertama di kampung Belang-belang, Kecamatan Lau, Maros.

Tim peneliti mendorong agar hasil temuan ini menjadi pertimbangan penting bagi Pemda Pangkep dan Maros untuk menetapkan situs tersebut sebagai bagian dari warisan budaya yang dilindungi negara.

Dengan temuan ini, diharapkan perhatian terhadap pelestarian situs bersejarah di Pangkep dan wilayah lain di Sulawesi Selatan semakin meningkat.

Penelitian toponimi kuno bukan hanya mengungkap asal-usul nama tempat, tetapi juga menjadi jendela untuk melihat dinamika budaya, politik, dan agama di masa lampau.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI