Laporan itu menunjukkan bahwa sekitar seperempat dari seluruh air yang dipakai untuk pertanian dunia berasal dari komoditas yang diperdagangkan lintas batas.
Misalnya, saat seseorang membeli sweater katun dari Pakistan, mereka juga “mengonsumsi” air yang diambil dari wilayah yang mungkin sedang kesulitan air. Hal ini memperlihatkan bahwa masalah air tidak hanya bersifat lokal, tetapi saling terhubung melalui perdagangan global.
Penurunan air tanah dan penyusutan sungai juga memicu kerusakan ekosistem. Lahan basah dapat mengering, populasi ikan menurun, dan tanah dapat mengalami degradasi sehingga sulit pulih meskipun hujan kembali. Kekeringan juga meningkatkan potensi kebakaran hutan dan padang rumput.
Hasil laporan ini memperkirakan bahwa peningkatan kecil dalam laju kehilangan air dapat menaikkan kemungkinan kebakaran hingga 25 persen, dan bahkan hampir 50 persen di wilayah yang kaya biodiversitas.
Di Afrika Sub-Sahara, kesulitan air akibat kekeringan diperkirakan menyebabkan hilangnya 600.000 hingga 900.000 pekerjaan setiap tahun, terutama di sektor pertanian yang sangat bergantung pada curah hujan. Perempuan dan pekerja lansia disebut sebagai kelompok paling terdampak.
Meski temuan ini mengkhawatirkan, para peneliti tetap melihat peluang besar untuk perbaikan. Dengan mengalihkan produksi komoditas tertentu ke wilayah yang lebih efisien dalam penggunaan air, dunia dapat menghemat hingga 137 miliar meter kubik air per tahun — cukup untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 100 juta orang.
Peningkatan efisiensi irigasi juga menjadi kunci. Teknologi seperti irigasi tetes, sprinkler, kanal berlapis, serta penjadwalan air berbasis sensor dapat mengurangi pemborosan dan memastikan lebih banyak air mencapai akar tanaman.
Di sisi lain, pemerintah dapat meningkatkan pengelolaan air melalui kebijakan harga air yang mencerminkan kelangkaan, perbaikan jaringan pipa kota, serta insentif bagi pertanian yang hemat air.
Bagi sektor bisnis, penggunaan data jejak air dapat membantu perusahaan memilih rantai pasokan yang lebih berkelanjutan, mengurangi risiko operasional, dan melindungi wilayah yang rawan kekeringan.
Baca Juga: Krisis Air Bersih di Pesisir Jakarta, Benarkah Pipa PAM Jaya Jadi Solusi?
Dengan alat pemantauan baru berbasis satelit dan model ekonomi, pembuat kebijakan kini dapat memantau perubahan air seperti memantau emisi karbon atau indikator ekonomi lainnya.
Hogeboom menekankan bahwa situasi ini “mengkhawatirkan, tetapi bukan tanpa harapan.” Ia menyebut pemetaan terbaru memberikan gambaran jelas mengenai hotspot penyusutan air, sehingga pemerintah dapat mengambil tindakan tepat sebelum krisis membesar.
Keputusan negara-negara dalam beberapa tahun mendatang dinilai akan menentukan apakah dunia dapat memperlambat tren penyusutan air tawar, atau justru menuju masa depan dengan risiko kekurangan air yang lebih parah bagi manusia maupun alam.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa