Selanjutnya, memberikan bimbingan teknis peningkatan produksi TBS, memberikan bimbingan teknis peningkatan mutu TBS Pekebun swadaya sesuai standar industri kelapa sawit, memberikan bimbingan teknis pola usaha tani/ berkebun yang baik (Good Agriculture Practices) dan berkelanjutan, dan terdapat peningkatan nilai tambah produk sawit, untuk peningkatan kesejahteraan pekebun.
Untuk Program Kemitraan untuk pemberdayaan Pekebun dalam penanganan dampak Covid-19, kata Edi, pihaknya telah melakukan seperti produksi Sabun Cair dan Hand Sanitzer mendukung upaya pencegahan Covid-19 di berbagai daerah.
Lantas, produksi virgin oil dan produk turunannya sebagai makanan sehat dan personal care product yang terjangkau oleh masyarakat luas, serta pemanfaatan
malam batik berbasis sawit.
“Pembuatan bahan bakar dari biomasa sawit untuk keperluan sendiri dan desa sekitar (Ketahanan energi tingkat pedesaan), dan pengelolaan lahan sawit untuk tanaman tumpang sari dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan desa sekitar (Ketahanan pangan tingkat pedesaan),” kata Edi dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 9, bertajuk “Peran BPDPKS dalam Memperkuat Kemitraan Pekebun Kelapa Sawit Indonesia,” yang diadakan InfoSAWIT, ditulis Jumat (30/7/2021).
Program lainnya kata edi, yakni Program Kemitraan untuk Pemberdayaan Pekebun terkait Integrasi dengan Industri Hidrokarbon, serta peremajaan Sawit rakyat dalam kemitraan strategis.
“Dimana Prinsip Kemitraan Strategis Model kemitraan dgn dukungan perusahaan mitra, meliputi bibit unggul bersertifikat, teknis budidaya berkelanjutan, jaminan pembelian (off taker), akses pendanaan mudah & kompetitif, kesempatan Pekebun bekerja di Koperasi dan transpatasni,” tutur Edi.
Sementara dikatakan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, sejatinya kemitraan pertama muncul semenjak adanya bantuan Bank Dunia, pada 1970-an dikembangkan P3RSU (UPP) dan selanjutnya dibentuk program Nucleus Estate Smallholder (NES) kemudian berlanjut dengan pengembangan proyek seri Perkebunan Inti Rakyat (PIR) kelapa sawit.
Kata Mukti, pola kemitraan dan dasar hukum hingga saat ini yakni, Program PIR dengan perusahaan inti PTP (NES, PIR Khusus dan PIR Lokal), Pola PIR-Trans dengan Perusahaan Swasta dan BUMN sebagai inti, Pola PIR KKPA, Revitalisasi Perkebunan, Peremajaan Sawit Rakyat.
“PIR sukses mengubah komposisi luas lahan sawit yang dimiliki oleh Rakyat, dari hanya 6.175 Ha ditahun 1980 menjadi 5.958.502 Ha ditahun 2019 di Indonesia merujuk Statistik Kelapa Sawit Indonesia,” catat Mukti.
Baca Juga: Mempercepat Transformasi Digital Perkebunan Kelapa Sawit di Masa Pandemi
Selama ini tutur Mukti, pihaknya tetap mendukung program kemitraan, bentuk dukungan itu berupa, pembentukan SATGAS Percepatan PSR GAPKI, yangmelibatkan seluruh Cabang GAPKI, kemudian, menjadi Anggota Pokja Penguatan Data dan Peningkatan Kapasitas Pekebun – Kemenko Perekonomian.
Lantas, aktif dalam koordinasi rutin untuk percepatan PSR dengan Kantor Menko Perekonomian, Ditjenbun, BPDPKS dan lainnya.
“Serta mengawal dan meng-update secara rutin Percepatan PSR anggota GAPKI melalui Rapat Pusat & Cabang GAPKI,” kata Mukti.
Tidak hanya itu, kata Mukti, GAPKI pusat maupun cabang memiliki peran masing-masing, peran GAPKI pusat diantaranya, pengikatan perjanjian kemitraan / MoU dengan petani plasma disaksikan oleh penyelenggara negara seperti, Deputi Kemenko Perekonomian, Dirut BPDP-KS, DitjenbunKetua Umum GAPKI dan Ketua Umum APKASINDO.
Termasuk, memberikan masukan kepada Pemerintah terkait kebijakan penyederhanaan proses pengajuan dan pembiayaan PercepatanPSR, serta bekerja sama dengan Asosiasi Petani/Pekebun dalam percepatan PSR.
Untuk peran GAPKI Cabang meliputi, melakukan assessment terkait potensi lahan dan petani PSR disekitar kebun atau pabrik, melakukan pemetaan terkait potensi lahan PSR disekitar kebun atau pabrik, melakukan FGD dan sosialisasi terkait Percepatan PSR bersama dengan Pemangku Kepentingan yang ada di Propinsi, serta memberikan data Laporan Progres PSR di tiap Propinsi.