Investasi Pada Teknologi dan SDM Jadi Hal Krusial Demi Keberlanjutan di Indonesia

Iwan Supriyatna Suara.Com
Selasa, 16 November 2021 | 08:23 WIB
Investasi Pada Teknologi dan SDM Jadi Hal Krusial Demi Keberlanjutan di Indonesia
CEO Live Series #3 yang diselenggarakan dalam rangkaian 12th Kompas100 CEO Forum: Ekonomi Sehat 2022 Powered by East Ventures.

Apa yang dipaparkan Daniel mengenai energi baru dan terbarukan juga menjadi perhatian dari PT PLN (Persero). Disampaikan Edwin Nugraha Putra, EVP Electricity System Planning PT PLN (Persero), PLN melakukan dua pendekatan konseptual terkait penggunaan energi dalam pembangkitan listrik. Kedua konsep ini, disampaikan Edwin, sangat tergantung dengan perkembangan teknologi.

Pendekatan pertama ialah terhadap pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil yang telah dibangun oleh PLN. Edwin katakan, bila PLN melakukan pembangunan-pembangunan pembangkit dengan energi fosil yang mendukung dan memang diperlukan demi pemenuhan kebutuhan listrik, hal tersebut bisa dipahami mengingat banyaknya sumber energi dari batu bara dan gas yang dimiliki Indonesia.

Yang PLN lakukan kemudian ialah menerapkan teknologi-teknologi terkini yang dapat mereduksi tingkat emisi sehingga keberadaan pembangkit tersebut tidak berkontribusi besar dalam hal pencemaran lingkungan.

Kemudian pendekatan kedua, Edwin mengatakan PLN tidak mungkin menafikan kehadiran sumber-sumber energi baru dan terbarukan sebagai energi pembangkit listrik. Ke depan, PLN justru melihat masa depan akan mengandalkan penuh sumber energi terbarukan ini. Terkait hal ini, PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)-nya telah memasukkan energi baru dan terbarukan ke dalam RUPTL tersebut.

“RUPTL yang kita hasilkan sekarang, kita berani sebut sebagai RUPTL yang paling hijau karena 51,2 persennya itu merupakan pembangkit-pembangkit renewable energy. Dulu itu biasanya yang masuk adalah pembangkit-pembangkit (dengan sumber energi) fosil. Nah, ini sebagai jembatan utama. Untuk jangka panjang, pada 2060, PLN juga akan menerbitkan apa yang disebut Carbon Neutrality 2060, bagaimana pembangkit-pembangkit energi fosil ini secara bertahap akan kita reduce emisinya sesuai dengan perkembangan teknologi. Kemudian hingga 2060 nanti, beban-beban yang naik akan kita layani dengan renewable energy,” papar Edwin.

Edwin mengatakan, penggunaan renewable energy seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), saat ini memang masih menghadapi tantangannya sendiri, terutama terkait intermentensi yang tinggi.

“Untuk PLTS ketersediaannya hanya siang hari. Kita tentu tidak mungkin mengatakan kepada pelanggan agar mereka hanya pakai listrik di siang hari. Bagaimana dengan di malam hari? Nah, teknologilah nanti yang akan menentukan. Bagaimana teknologi baterai yang ada sekarang ini dengan keterbatasannya, terutama masalah harga, nanti akan bisa berkembang sehingga memungkinkan kesiapan dan harga yang lebih murah dan bisa bersaing dengan energi fosil yang melayani beban dasar. Sampai dengan teknologi ini berkembang, maka untuk keberlangsungan bisnis dan keberlangsungan kelistrikan, energi fosil yang kita pakai harus dilengkapi dengan peralatan teknologi yang dapat mereduksi emisi yang dihasilkan,” tutur Edwin.

Hal senada juga disampaikan oleh Bernard A. Riedo, Director Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri. Terlebih bagi industri sawit. Menurut Bernard, industri sawit termasuk industri yang heavy regulated. Ada banyak standar-standar yang harus diterapkan, yang bahkan lebih banyak bila dibandingkan dengan industri minyak nabati lainnya.

“Di satu sisi kita harus berbangga bahwa memang kenapa kita diperlakukan standar seperti itu, itu karena kita punya daya saing yang cukup tinggi. Competitive advantages kita tinggi, produktivitas kita tinggi, sehingga ini menjadi suatu persaingan dagang di mana sawit diharapkan lebih sustainable,” ucap Bernard.

Baca Juga: Akomodir Keresahan Orang Tua, LDII Tangsel Mulai Pembangunan SMA CIM Boarding School

Asian Agri, disampaikan Bernard, memandang sustainability sebagai bagian yang tak terpisahkan. Terlebih hal tersebut menjadi salah satu pilar Asian Agri selain Operational Excellence dan Smallholder Partnership, yang menjadi ruang Asian Agri untuk berkolaborasi dengan masyarakat di sekitar wilayah operasinya.

“Asian Agri itu bisa dibilang telah 30 tahun memiliki pengalaman dalam hal bermitra, dimulai dari program PIR-Trans (Perkebunan Inti Rakyat) dan sekarang kemitraan itu sudah masuk ke generasi kedua, yang mana untuk generasi kedua tidak hanya untuk kebunnya saja yang melalui mekanisme replanting, tetapi juga dari sisi yang mengelola, atau petaninya sendiri yang sudah masuk ke generasi kedua. Yang harus kita persiapkan bersama bagaimana ke depannya tidak hanya berhenti di generasi kedua, tapi berlanjut ke generasi ketiga, keempat, dan seterusnya. Dengan pengalaman panjang tersebut, pada 2018 Asian Agri telah mencapai pada apa yang kita sebut One to One Commitment, di mana satu hektar perkebunan inti berbanding dengan satu hektar perkebunan kemitraan. Jadi saat ini Asian Agri sekitar 100 ribu hektar, kemitraan kita itu sudah sekitar 100 ribu hektar juga,” papar Bernard.

Pemaparan yang disampaikan sejumlah pelaku usaha mengenai sustainability action disambut baik oleh Bayu Krisnamurthi, Ketua Tim Ahli Kementerian Perdagangan RI. Terkait sustainability, Bayu mengatakan setiap industri tentu memiliki standardisasinya sendiri-sendiri. Standar-standar dan praktik terbaik masing-masing industri ini sangat diharapkan tercipta melalui voluntary based dari industri.

“Karena standardisasi untuk sawit jelas berbeda dengan listrik, beda dengan migas. Salah satu yang jadi semangat Sustainable Development Goals (SDGs) ini bukan regulasi. Yang ditetapkan itu tujuan, caranya kembali ke pelaku industri sesuai dengan karakteristik masing-masing industri,” paparnya.

Pemerintah sendiri, menurut Bayu, bisa dilihat melalui regulasi-regulasi yang ada. Setidaknya ada dua hal yang disebutkan Bayu mengenai komitmen pemerintah terkait sustainability yang bisa disebut.

“Yang pertama, kita sudah memiliki Rencana Aksi Nasional (RAN) SDGs yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Itu jadi pegangan kita semua. Sangat detail, sangat teknis di dalamnya. Mulai dari 17 tujuan dalam SDGs diterjemahkan menjadi target, dari target menjadi indikator, dan kemudian langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Saya melihat ini sesuatu yang sangat baik sekali. Harapannya para pelaku usaha itu mengacu ke sana dan kemudian mengembangkan rencananya masing-masing,” papar Bayu.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI