Hal serupa akan kita alami pada pertalite seiring dengan gap harga yang cukup jauh antara pertalite dengan pertamax. Migrasi konsumen pertamax ke pertalite akan berkonsekuensi beban subsidi pertalite meningkat.
Oleh sebab itu pemerintah perlu mengubah sasaran subsidi energi tertuju pada keluarga miskin, bukan komoditas. Secara perlahan alihkan mekanisme distribusi LPG subsidi dari penjualan terbuka menjadi semi tertutup dan integrasikan pemberian subsidi LPG melalui data terpadu DTSK Kemensos, demikian juga para penerima subsidi listrik dan BBM, semua penerima subsidi listrik dan BBM terintegrasi datanya melalui DTSK Kemensos.
Telah lama kita tidak menaikkan harga BBM, LPG dan Listrik subsidi. Pemerintah perlu secara perlahan menaikkan harga BBM, LPG dan Listrik bersubsidi dengan tetap mempertimbangkan kondisi makro ekonomi, serta daya beli rakyat, terutama golongan menengah bawah. Namun pada saat harga energi rendah pemerintah juga menurunkan harga BBM, LPG, dan listrik. Kebijakan seperti ini pernah kita lakukan beberapa tahun lalu, dan masih sangat relevan digunakan sebagai skema untuk menyeimbangkan kekuatan fiskal APBN kita.
Pemerintah perlu melakukan renegosiasi kontrak pembelian minyak bumi untuk mendapatkan harga yang lebih ekonomis. Dengan posisi minyak Rusia yang masih terkena imbas pelarangan penjualan di Eropa dan Amerika Serikat, sesungguhnya sangat terbuka bagi Indonesia untuk mendapatkan pasokan minyak dari Rusia, terlebih lagi pertamina pernah mendapatkan suplai minyak dari Rusia. Politik luar negeri kita bebas aktif, harusnya kita lebih mengedepankan kepentingan nasional, khususnya dalam mendapatkan harga minyak bumi impor dengan harga yang lebih ekonomis.
Mendorong peningkatan investasi pada sektor hulu migas agar hasil minyak bumi kita tidak bertumpu pada sumur sumur lama yang sudah uzur, termasuk konsisten menjalankan target Refinery Development Master Plan, serta meningkatkan kapasitas pengolahan minyak mentah hingga 2 juta barel per hari. Kedisiplinan pada target ini perlu kita dapatkan mengingat tren kedepan sebagaimana trajektori energi yang dirumuskan oleh Kementerian ESDM menunjukkan tren impor minyak mentah, BBM, LPG dan Listrik kedepan terus meningkat.
Untuk mengurangi beban ketergantungan terhadap minyak bumi yang sedemikian besar, pemerintah perlu secara progresif menjalankan kebijakan konversi energi. Realisasi investasi sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) sepanjang 2021 hanya mencapai US$ 1,51 miliar atau 74% dari target yang ditetapkan US$ 2,04 miliar. Bauran energi baru terbarukan (EBT) mencapai 11,5% atau setara dengan 168,7 juta barel setara minyak (MBOE) per akhir tahun 2021 lalu. Angka bauran ini sedikit mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan posisi bauran EBT per akhir 2020 lalu yang sebesar 11,2% atau setara 163,2 MBOE.
Secara terperinci, bauran energi nasional per akhir tahun 2021 terdiri atas batubara dengan porsi 38,0%, minyak bumi 31,2%, gas bumi 19,3%, dan EBT 11,5%. Jika merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) bauran EBT ditargetkan mencapai 14,5% atau setara 319,3 MBOE di akhir tahun 2021, namun capaian kita hanya 11,5%. DPR mendorong pemerintah bisa mengupayakan target RUEN bisa terpenuhi pada tahun depan, sehingga porsi EBT semakin besar.
Untuk mengurangi beban ekonomi akibat masih tingginya harga komoditas dunia di tahun depan, pemerintah perlu terus menguatkan program perlindungan sosial. Program ini kita harapkan menjadi bantalan bagi keluarga miskin menghadapi potensi kenaikan berbagai barang dan jasa pada tahun depan.
Oleh Ketua Badan Anggaran DPR, MH Said Abdullah.
Baca Juga: Satu Tahun Alih Kelola, PHR Sukses Tingkatkan Produksi Migas WK Rokan