Meski Tetap Menjaga Semangat Perdamaian, Negara ASEAN Harus Tegas Terhadap Klaim Sepihak RRT

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 07 Maret 2024 | 09:53 WIB
Meski Tetap Menjaga Semangat Perdamaian, Negara ASEAN Harus Tegas Terhadap Klaim Sepihak RRT
Kuliah pakar dengan tema ”Dinamika Laut China Selatan dalam Perspektif Keamanan Maritim: Tantangan, Peluang, dan Kolaborasi Regional”.

Suara.com - Indonesia harus makin meningkatkan potensi penegakan hukum dan kedaulatan di wilayah ZEE Indonesia yang diakui oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai wilayahnya.

Negara-negara ASEAN juga harus memperkuat persatuan dan meningkatkan ketegasan terhadap RRT, serta menghimbau negara tersebut agar menjaga semangat damai ASEAN dan bekerja sama dengan ASEAN bagi terciptanya kode etik prilaku (Code of Conduct) di Laut China Selatan (LCS), yang diharapkan dapat menjadi norma demi menjaga stabilitas di kawasan tersebut.

Demikian salah satu pernyataan Dosen Pascasarjana Universitas Pelita Harapan dan Ketua Forum Sinologi Indonesia Johanes Herlijanto PhD yang menjadi salah satu pembicara dalam Kuliah Pakar yang diselenggarakan oleh Program Studi Keamanan Maritim. Kuliah ini mengambil tema ”Dinamika Laut China Selatan dalam Perspektif Keamanan Maritim: Tantangan, Peluang, dan Kolaborasi Regional”.

Acara yang juga melibatkan Forum Sinologi Indonesia (FSI) itu menghadirkan beberapa pemerhati Cina dan kemaritiman, antara lain Laksamana Muda (Purn) Dr. Surya Wiranto, Dr (HC) Capt. Marcellus Jayawibawa, dan Ketua FSI Johanes Herlijanto, Ph.D. Diskusi dalam acara tersebut dipandu oleh Ristian Atriandi Suprianto, M. Sc, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia, yang juga peneliti mitra FSI.

Dalam pemaparannya, Johanes mengatakan bahwa klaim China di LCS cenderung berubah dan makin luas.

“Tahun 1928, pemerintah China Nasionalis mengatakan bahwa batas paling selatan dari wilayah negara China adalah kepulauan Parasel, yang terletak di bagian utara LCS. Tetapi sejak 1947, klaim China berkembang hingga hampir seluruh wilayah LCS,” tutur Johanes ditulis Kamis (7/3/2024).

Dalam perkembangannya, menurut pria yang juga dosen dan pemerhati Tiongkok Universitas Pelita Harapan (UPH) itu , Tiongkok mengembangkan apa yang dinamakan sebagai 11 garis putus-putus, yang di era RRT berganti menjadi 9 garis putus-putus, dan kini menjadi 10 garis putus-putus.

“Kehadiran 9 garis putus-putus itu menggemparkan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada tahun 1990-an, karena salah satu garis tersebut menyasar ke wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna,” jelasnya.

Dalam pandangannya, ini berarti RRT menganggap sebagian wilayah Indonesia yang ditandai dengan garis putus-putus tersebut sebagai milik RRT, karena negara itu bersikeras memiliki “kedaulatan tak terbantahkan, hak berdaulat dan yuridiksi terhadap perairan, dasar laut, beserta materi terkandung” di wilayah di dalam garis putus-putus tersebut.

Baca Juga: Susul iPhone, HP China Oppo dan Vivo Tumbang di Kandang Sendiri

Johanes juga mengingatkan bahwa berdasarkan penelusuran sejarah, klaim RRT pada masa lalu pernah berkembang menjadi konflik militer, yaitu pertempuran dengan Vietnam pada Januari 1974, yang mengakibatkan pengambilalihan kepulauan parasel oleh RRT dari Vietnam Selatan.

Menanggapi hal itu, Johanes berharap Indonesia makin meningkatkan potensi penegakan hukum dan kedaulatan di wilayah ZEE Indonesia yang diakui oleh RRT itu.

Ia juga berharap negara-negara ASEAN memperkuat persatuan dan meningkatkan ketegasan terhadap RRT, serta menghimbau negara tersebut agar menjaga semangat damai ASEAN dan bekerja sama dengan ASEAN bagi terciptanya kode etik prilaku (Code of Conduct) di LCS, yang diharapkan dapat menjadi norma demi menjaga stabilitas di kawasan tersebut.

Sementara itu, Laksda (Purn) Dr Surya Wiranto menekankan pembahasan pada pemanfaatan sumber daya di wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat kepulauan Natuna sebagai bagian dari diplomasi pertahanan (defense diplomacy).

Menurut beliau, secara yuridis, Indonesia memiliki hak ekslusif untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas (dalam kaitan dengan landas kontinen), sesuai dengan Hukum Laut Internasional (UNCLOS), khususnya pada artikel 77 bagian IV UNCLOS, yang didukung dengan artikel 81 mengenai pengeboran.

“Sebaliknya, klaim Tiongkok berdasarkan 9 garis putus-putus tidak memiliki dasar hukum internasional sama sekali, apalagi berdasarkan UNCLOS,” tutur mantan perwira tinggi TNI AL itu.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI