Sikapi Prilaku Agresif China di Natuna, Indonesia Dinilai Perlu Perkuat Pertahanan

Iwan Supriyatna Suara.Com
Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:34 WIB
Sikapi Prilaku Agresif China di Natuna, Indonesia Dinilai Perlu Perkuat Pertahanan
Seminar yang mengambil tema “Kerentanan Natuna dalam Kompleksitas Ancaman di Laut China Selatan dalam Hubungan Strategis Indonesia – China,”.

Suara.com - Indonesia dinilai perlu untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya, khususnya kemampuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) demi menghadapi tantangan yang berkembang seiring dengan meningkatnya sikap asertif China baik di Laut China Selatan (LCS) maupun di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna.

Namun peningkatan kemampuan pertahanan tersebut diharapkan berjalan seiring dengan peningkatan kemampuan diplomasi untuk mencari solusi demi menjamin stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.

Kesimpulan di atas dikemukakan baik oleh para tokoh berlatar belakang militer maupun para akademisi dalam seminar yang mengambil tema “Kerentanan Natuna dalam Kompleksitas Ancaman di Laut China Selatan dalam Hubungan Strategis Indonesia – China,” yang diselenggarakan oleh Fakultas Keamanan Nasional (FKN) Universitas Pertahanan Republik Indonesia (UnHan RI) bersama dengan Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Indonesian Maritime Security Initiative (Indomasive).

Seminar tersebut menghadirkan mantan Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI (Purn) Marsetyo sebagai pembicara utama, didampingi oleh staf pengajar senior Jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo, Ph.D, dan ketua FSI Johanes Herlijanto, Ph.D.

Seminar dihadiri oleh wakil dekan bidang keuangan dan umum FKN, Brigadir Jenderal TNI Ir. Kristijarso, S.I.P., M.M, kepala Program Studi Magister Keamanan Maritim, Kolonel Laut (KH) Dr. Panji Suwarno, S.E., M.Si., CIQnR, serta sejumlah perwira tinggi dan menengah TNI. Seminar dipandu oleh Ristian Atriandi Supriyanto, M. Sc, pengajar jurusan Hubungan Internasional UI dan peneliti mitra FSI.

Dalam pidato pembukaan yang disampaikan oleh Brigjen TNI Kristijarso, dekan FKN, Mayor Jenderal TNI Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si., M.D.S., M.Si (Han) menyatakan bahwa Indonesia perlu mengidentifikasi berbagai bentuk ancaman yang dihadapi. Menurutnya, ancaman tersebut hadir baik dalam aspek meliter maupun non militer.

“Dari segi militer, peningkatan kehadiran militer China di kawasan Asia Tenggara menjadi tantangan langsung bagi kedaulatan Indonesia,” tutur beliau ditulis Selasa (22/10/2024).

Namun beliau juga menyampaikan bahwa latihan militer yang dilakukan secara berkala, yang disertai dengan pengiriman armada dari luar kawasan, berpotensi pula menambah ketegangan di kawasan ini.

Menurut pandangan Mayjen Widodo, tantangan di atas perlu dihadapi dengan langkah langkah strategis, antara lain dengan meningkatkan kapasitas pertahanan Indonesia, khususnya TNI AL, melalui modernisasai alat utama sistem senjata (alusista) dan pelatihan yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kehadiran armada RI di wilayah Natuna.

Baca Juga: Maksimalkan Perekonomian Natuna, Pemprov Kepri Siapkan Pendaratan Kendaraan di Dermaga

Langkah-langkah lain yang menurut beliau penting untuk diambil adalah mempererat kerja sama dengan negara-negara tetangga, serta menjalankan diplomasi proaktif dengan China dan negara lain di kawasan ini.

Laksamana TNI (Purn) Marsetyo membuka pemaparannya dengan menyampaikan kembali perintah Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, agar Indonesia menjadi negara yang kuat, yang bukan hanya melindungi kedaulatan Indonesia, tetapi juga melindungi mineral dan kekayaan alam Indonesia.

Namun, menurut beliau, Presiden Prabowo menginginkan agar Indonesia tetap berpegang teguh pada politik bebas dan aktif.

“Pak Prabowo memandang semua negara sebagai sahabat asalkan (negara itu) jangan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia,” tutur beliau.

Terkait meningkatnya sikap agresif China di LCS, ketua Dewan Guru Besar UnHan RI itu menyatakan bahwa salah satu akar permasalahan yang muncul adalah ketidaktaatan China pada UNCLOS meskipun negara itu meratifikasi hukum laut internasional itu.

“UNCLOS 1982 merupakan pegangan bagi negara-negara anggota ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara), tetapi tidak menjadi pegangan bagi China,” papar Profesor Marsetyo.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI