Suara.com - Setelah mencapai harga tertinggi sepanjang masa (ATH) pada Januari 2025 sebesar USD 108.000, Bitcoin mengalami koreksi yang signifikan. Pada 3 Februari 2025, harga turun menjadi USD 91.000, menurun lebih dari 15%.
Namun, pada 4 Februari 2025, harga Bitcoin sempat kembali naik dan tercatat mencapai USD 101.000 sebelum akhirnya kembali turun pada 10 Februari 2025 menjadi USD 95.000.
Koreksi ini menunjukkan karakteristik pasar Bitcoin yang fluktuatif, di mana harga bisa mengalami kenaikan dan penurunan secara bergantian, dipengaruhi oleh faktor eksternal dan sentimen pasar global.
Beberapa hari terakhir koreksi harga ini sebagian besar dipicu oleh ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China, terutama setelah pengumuman kebijakan tarif impor yang baru oleh Presiden AS yang berlaku pada Februari 2025.
Kebijakan tersebut memberikan dampak langsung terhadap pasar global, termasuk pasar aset kripto, dengan memicu aksi jual dalam jangka pendek.
Meskipun harga Bitcoin mengalami penurunan, permintaan terhadap aset kripto di Indonesia masih tinggi. Terlihat dari jumlah transaksi yang terus meningkat pada platform Indodax, data internal Indodax total transaksi di Januari 2025 mencapai Rp16,019 Triliun atau sekitar 12,02% dari total transaksi selama 2024.
Meskipun ada koreksi, pasar kripto Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan, yang menandakan bahwa minat terhadap Bitcoin dan aset kripto lainnya tetap solid.
Beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi koreksi harga Bitcoin adalah ketidakpastian ekonomi global, terutama terkait dengan kebijakan fiskal negara besar dan fluktuasi suku bunga.
Pada saat yang sama, para investor semakin memperhatikan gejolak ekonomi yang dapat mempengaruhi pasar global, termasuk kripto. Kenaikan suku bunga di beberapa negara besar memicu peralihan dana dari aset berisiko tinggi seperti Bitcoin ke aset yang lebih aman.
Baca Juga: Ketersediaan Koin Kripto Terbatas, Ini Kata OJK
CEO Indodax, Oscar Darmawan, menjelaskan koreksi harga Bitcoin dan pandangannya terhadap perkembangan pasar kripto.
"Koreksi harga Bitcoin saat ini menunjukkan sifat volatilitas pasar yang memang wajar terjadi. Dalam pasar yang dinamis seperti ini, koreksi harga adalah bagian dari siklus alami, di mana fluktuasi harga dapa mempengaruhi sentimen pasar. Namun, kami tetap optimistis terhadap prospek jangka panjang Bitcoin," ujar Oscar.
Oscar menambahkan bahwa meskipun pasar mengalami koreksi, faktor fundamental Bitcoin tetap kuat, termasuk adopsi yang semakin luas, baik oleh investor ritel maupun institusional.
"Tingkat adopsi Bitcoin yang terus meningkat, serta kemajuan regulasi di berbagai negara, memberikan sinyal positif untuk masa depan Bitcoin. Di Indonesia, kami melihat pertumbuhan yang signifikan, tercermin dari data yang menunjukkan total transaksi kripto yang mencapai Rp650,61 triliun pada tahun 2024, sebuah lonjakan 4 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya," lanjut Oscar.
Oscar juga mengingatkan bahwa meskipun koreksi harga terjadi dalam jangka pendek, potensi Bitcoin untuk rebound sangat besar.
"Kami telah melihat sebelumnya bagaimana Bitcoin mampu pulih setelah mengalami koreksi tajam. Dengan latar belakang pasar yang lebih matang dan kesadaran akan aset digital yang terus berkembang, kami yakin Bitcoin akan kembali menunjukkan tren bullish dalam waktu dekat," ungkapnya.