Berbagai dampak yang timbul jika peraturan ini diterapkan adalah meningkatnya pemalsuan produk serta penyelundupan produk rokok ilegal, padahal pemerintah juga tengah memerangi meningkatnya angka peredaran rokok tidak resmi.
Selain itu, pada penerimaan negara, diperkirakan negara akan mengalami kerugian ekonomi hingga Rp182,2 triliun, dengan penurunan penerimaan perpajakan sebesar Rp95,6 triliun jika kemasan polos ini diteruskan, serta rokok ilegal bertumbuh. Dampak lanjutannya, adalah tergerusnya lapangan kerja akibat industri resmi yang tidak mampu bertahan.
Selain berdampak pada sektor buruh, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek juga berpotensi melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Merek adalah identitas sebuah perusahaan, dan banyak perusahaan, termasuk di industri tembakau, telah berinvestasi besar dalam riset dan pengembangan merek mereka.
Sebelum PP 28/2024, industri hasil tembakau (IHT) sudah dihimpit oleh banyaknya regulasi yang terbilang sangat menekan, namun kurang memperhatikan aspek kesejahteraan. Sebanyak 400 peraturan (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengakomodasi isu ekonomi dan kesejahteraan.