Garuda Indonesia Tak Kuat Bayar Biaya Perawatan Pesawat, Erick Thohir Mau Panggil Wamildan Tsani

Senin, 05 Mei 2025 | 16:53 WIB
Garuda Indonesia Tak Kuat Bayar Biaya Perawatan Pesawat, Erick Thohir Mau Panggil Wamildan Tsani
Menteri BUMN Erick Thohir menunjuk Wamildan Tsani, Plt CEO Lion Air, sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia yang baru. Keputusan ini diambil dalam RUPSLB Garuda Indonesia pada Jumat (15/11/2024).

Suara.com - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, yang dilaporkan menghentikan operasional sementara 15 pesawatnya akibat kesulitan membayar biaya perawatan akhirnya sampai ke telinga Menteri BUMN Erick Thohir.

Erick mengaku belum mengetahui kabar tersebut. "Belum, saya belum tau," di Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (5/5/2025).

Menyikapi informasi yang beredar, Erick Thohir pun berencana untuk segera meminta penjelasan langsung dari Direksi Garuda Indonesia terkait situasi yang dihadapi maskapai pelat merah tersebut. "Saya nanti tanya Pak Dirut (Wamildan Tsani) ya seperti apa kondisinya," tegasnya.

Sebelumnya, kabar kurang menggembirakan kembali menerpa maskapai penerbangan nasional, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dikabarkan tak kuat untuk membayar biaya perawatan pesawat mereka.

Mengutip Bloomberg pada Senin (5/5/2025), emiten bersandi GIAA ini terpaksa harus menghentikan operasional sementara 15 pesawat dalam armadanya. Langkah drastis ini diduga kuat dipicu oleh kesulitan maskapai pelat merah tersebut dalam membayar biaya perawatan armada udaranya.

Sumber Bloomberg yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa penghentian operasional sejumlah pesawat ini menjadi pertanda mengkhawatirkan dan memunculkan spekulasi bahwa rencana kebangkitan Garuda Indonesia yang tengah diupayakan kemungkinan besar sedang menghadapi kendala serius.

Kondisi keuangan Garuda Indonesia yang belum sepenuhnya pulih pasca restrukturisasi utang tampaknya turut mempengaruhi kepercayaan para pemasok (supplier) maskapai penerbangan.

Laporan Bloomberg juga mengungkapkan bahwa sejumlah pemasok kini bahkan meminta pembayaran di muka untuk suku cadang dan tenaga kerja, sebagai langkah antisipasi terhadap potensi risiko gagal bayar dari pihak Garuda.

Dalam laporan itu sebagian besar pesawat yang terdampak penghentian operasional sementara ini merupakan armada milik PT Citilink Indonesia, anak perusahaan Garuda Indonesia yang bergerak di segmen penerbangan berbiaya rendah (Low-Cost Carrier/LCC). Kabar ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai kondisi operasional Citilink dan dampaknya terhadap konektivitas penerbangan domestik.

Baca Juga: Kontroversi UU BUMN: Bos Perusahaan Plat Merah Kini 'Kebal Hukum'

Di tengah kabar kurang sedap ini, data terbaru dari perusahaan pelacak armada maskapai, Cirium, memberikan sedikit perspektif yang berbeda. Berdasarkan data Cirium, Garuda Indonesia tercatat memiliki 66 pesawat yang saat ini beroperasi dan 14 pesawat lainnya yang sedang disimpan (stored). Data ini menimbulkan interpretasi yang beragam, apakah 15 pesawat yang dikabarkan dihentikan operasionalnya termasuk dalam kategori "stored" atau merupakan penghentian operasional di luar status penyimpanan reguler.

Kabar penghentian operasional belasan pesawat Garuda Indonesia ini tentu menjadi pukulan telak bagi upaya pemulihan maskapai kebanggaan bangsa tersebut. Keterbatasan jumlah pesawat yang beroperasi berpotensi mengganggu jadwal penerbangan, menurunkan kapasitas angkut, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi pendapatan perusahaan.

Selain itu, permintaan pembayaran di muka dari para pemasok juga semakin memperberat beban keuangan Garuda Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan likuiditas dan kepercayaan dari para mitra bisnis masih menjadi batu sandungan utama dalam proses kebangkitan maskapai ini.

Berdasarkan laporan keuangan Garuda Indonesia beban operasional penerbangan per semester satu 2024 yakni US$ 839,12 juta, setara Rp 12,81 triliun. Angka ini meningkat 15,02% dari periode yang sama tahun sebelumnya US$ 729,49 juta.

Secara rinci, bahan bakar menjadi paling banyak menyuplai di pos beban operasional penerbangan sebesar US$ 535,51 juta, meningkat dari sebelum US$ 439,2 miliar. Lalu ada beban penyusutan US$ 168,86 miliar darri US$ 163,04 miliar.

Lalu ada pos beban pemeliharaan dan perbaikan senilai US$ 257,57 juta naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya US$ 159,49 juta. Beban umum dan administrasi GIAA juga meningkat hingga semester I 2024 menjadi US$ 123,05 juta dari sebelum US$ 97,15 juta.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI