Ini 5 Hal Penting yang Harus Diwaspadai Pebisnis saat Perang Dagang

Achmad Fauzi Suara.Com
Senin, 28 April 2025 | 19:47 WIB
Ini 5 Hal Penting yang Harus Diwaspadai Pebisnis saat Perang Dagang
Ilustrasi bisnis (Pexels/nappy)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketegangan perdagangan global kembali memanas, mendorong para pebisnis di Indonesia untuk lebih waspada dalam menyusun strategi pertumbuhan.

Tarif baru yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap berbagai produk dari negara berkembang memperparah ketidakpastian ekonomi, sekaligus menekan daya saing bisnis nasional. Di tengah pelemahan nilai tukar rupiah, perlambatan investasi teknologi, serta lonjakan biaya operasional, dunia usaha kini dihadapkan pada tantangan besar.

Dalam situasi ini, pendekatan bisnis mulai bergeser dari ekspansi agresif menjadi evaluasi mendalam terhadap proses internal. Fokus utama bergeser pada efisiensi operasional, penguatan loyalitas pelanggan, dan ketahanan jangka panjang, terutama dalam mengelola customer journey dari akuisisi hingga retensi.

Ada lima hal penting yang harus diwaspadai pebisnis Indonesia di tahun 2025 dalam menjaga akuisisi dan retensi pelanggan.

Pertama, biaya akuisisi pelanggan yang terus meningkat menjadi tantangan nyata. Studi global mengungkapkan bahwa Customer Acquisition Cost (CAC) telah melonjak lebih dari 60% dalam lima tahun terakhir. Pelanggan semakin selektif dalam memilih brand, sementara pasar customer engagement global diperkirakan tumbuh dari USD 22,3 miliar pada 2024 menjadi USD 48,5 miliar pada 2032. Kondisi ini menuntut perusahaan untuk mengadopsi strategi akuisisi yang lebih efisien dan bernilai tinggi.

Kedua, loyalitas pelanggan semakin rapuh di era digital-first. Penelitian mencatat bahwa 80 persen konsumen lebih memilih brand yang mampu memberikan pengalaman personalisasi. Namun, banyak perusahaan masih kesulitan memenuhi harapan layanan yang cepat, personal, dan konsisten. Tanpa strategi engagement yang kuat, satu pengalaman buruk saja bisa membuat pelanggan beralih ke kompetitor.

Ketiga, fragmentasi channel masih menjadi batu sandungan besar. Banyak tim bisnis masih bergantung pada tools terpisah antara marketing, sales, dan customer service, menyebabkan data tersebar dan respon terhadap kebutuhan pelanggan menjadi lambat. Padahal, perusahaan dengan strategi omnichannel yang kuat mampu mempertahankan hingga 89% pelanggannya, jauh di atas rata-rata industri.

Keempat, kurangnya integrasi antar tim yang berinteraksi langsung dengan pelanggan. Ketika tim sales dan support bekerja dalam silo, risiko miskomunikasi dan duplikasi kerja meningkat. Ini tidak hanya memperlambat proses bisnis, tetapi juga menciptakan pengalaman pelanggan yang tidak konsisten, merusak kepercayaan dalam jangka panjang.

Kelima, tekanan ekonomi memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi tanpa mengorbankan pengalaman pelanggan. Di tengah tarif AS, depresiasi rupiah, dan biaya impor yang melonjak, adopsi teknologi berbasis AI menjadi sangat penting. Teknologi ini mampu meningkatkan personalisasi layanan, mempercepat respon, serta memperkuat retensi pelanggan dengan biaya lebih terkendali. Pasar CRM di Indonesia sendiri diprediksi tumbuh dari USD 1,47 miliar pada 2025 menjadi USD 1,91 miliar di 2030, sejalan dengan percepatan digitalisasi bisnis.

Baca Juga: Indonesia Incar Pasar Ekspor BRICS di Tengah Dinamika Perdagangan Global

Melihat berbagai tantangan tersebut, kebutuhan akan solusi bisnis yang efisien, adaptif, dan menyeluruh menjadi semakin mendesak. Perusahaan tidak lagi cukup hanya menggunakan tools yang terfragmentasi; mereka butuh platform yang mampu menyatukan seluruh proses bisnis dalam satu ekosistem terpadu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI