Harga Minyak Naik, Rupiah Melemah: Awas Harga BBM Bisa Melambung Tinggi!

M Nurhadi Suara.Com
Senin, 23 Juni 2025 | 13:01 WIB
Harga Minyak Naik, Rupiah Melemah: Awas Harga BBM Bisa Melambung Tinggi!
Ilustrasi nozzle di SPBU, BBM bermasalah. [Ist]

Suara.com - Ketegangan geopolitik yang memanas di kawasan Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, berpotensi memicu guncangan signifikan pada pasar energi global. Hal ini diungkapkan oleh Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet pada Senin, 23 Juni 2025.

Menurut Yusuf, ancaman terbesar dari konflik ini terhadap ekonomi Indonesia adalah potensi lonjakan harga minyak dunia. Mengingat Indonesia saat ini bukan lagi eksportir minyak bersih, setiap kenaikan harga minyak mentah secara langsung akan berdampak pada biaya impor negara dan memberikan tekanan pada neraca perdagangan.

"Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, punya potensi memicu guncangan besar pada pasar energi global," ujarnya, dikutip pada Senin (23/6/2025) dari Antara.

Dampak lanjutan yang paling cepat terasa dari kenaikan harga minyak dan meningkatnya ketidakpastian global adalah pada nilai tukar (kurs) rupiah. Yusuf menjelaskan bahwa dalam situasi seperti ini, investor cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk dialihkan ke aset safe haven seperti dolar Amerika Serikat (AS) atau emas. Pola ini, yang telah berulang kali terlihat dalam krisis global sebelumnya, secara langsung memicu volatilitas pasar mata uang dan menyebabkan pelemahan kurs rupiah.

Pelemahan rupiah ini kemudian akan membawa implikasi fiskal yang serius, terutama terhadap beban subsidi pemerintah. Ketika harga minyak dunia naik dan rupiah melemah, harga keekonomian Bahan Bakar Minyak (BBM) otomatis akan melonjak.

Jika pemerintah mempertahankan harga BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar, selisih antara harga pasar dan harga jual harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam bentuk tambahan subsidi energi.

"Artinya, ruang fiskal menjadi semakin sempit, dan ini bisa mengganggu prioritas anggaran lain seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan," ucap Yusuf.

Situasi ini menimbulkan nuansa déjà vu terhadap dampak ekonomi yang terjadi di awal perang Rusia-Ukraina, di mana eskalasi konflik menyebabkan lonjakan tajam harga komoditas, ketidakpastian pasar keuangan, hingga tekanan berat terhadap subsidi energi nasional.

Yusuf menekankan, "Meskipun magnitudo konflik Iran-Israel saat ini belum sebesar invasi Rusia ke Ukraina, bukan berarti dampaknya bisa diremehkan. Justru karena sifat konflik ini berpotensi meluas di kawasan yang menjadi poros energi dunia, antisipasi harus tetap dilakukan secara serius."

Baca Juga: Benarkah Indonesia Paling Aman Jika Perang Dunia 3 Meletus? Analisa Mengejutkan Posisi RI Sebenarnya

Sebagai informasi, Anadolu Agency melaporkan bahwa harga minyak mentah telah melonjak 11 persen selama seminggu terakhir yang berakhir pada 19 Juni. Kenaikan ini dipicu oleh ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran yang mencapai titik tertinggi baru, memicu kekhawatiran atas potensi gangguan pasokan dan perdagangan di Timur Tengah.

Harga spot minyak mentah Brent, patokan global, naik dari level penutupan $69,65 per barel pada 12 Juni (sehari sebelum Israel melancarkan serangan terhadap target-target Iran) menjadi $77,32 per barel pada 19 Juni. Harga West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami kenaikan 11 persen dalam periode yang sama. Meskipun ada kenaikan baru-baru ini, harga minyak Brent masih berada di bawah rata-rata tahun 2024 sebesar $80 per barel.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI