Suara.com - Pemerintah Indonesia resmi mengakui teknologi blockchain sebagai bagian sah dari ekosistem ekonomi digital nasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Aturan yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto ini mempertegas posisi Indonesia dalam menyongsong transformasi digital berbasis teknologi terdesentralisasi.
PP ini menjadi regulasi pertama di Indonesia yang menyebutkan blockchain secara eksplisit dalam kerangka hukum.
Tercantum dalam Pasal 186, blockchain disejajarkan dengan teknologi strategis lain seperti kecerdasan buatan (AI), sistem identitas digital, dan sertifikat elektronik.
Dengan terbitnya PP 28/2025, pelaku usaha yang ingin membangun solusi berbasis blockchain kini memiliki dasar legal yang jelas.
Untuk jenis usaha yang tidak bersentuhan langsung dengan sektor keuangan, seperti smart contract, Web3, NFT, dan DeFi non-keuangan, cukup memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Sertifikat Standar.
Sementara bagi sektor yang menyentuh aspek keuangan seperti tokenisasi aset, stablecoin, hingga perdagangan aset kripto, tetap diwajibkan memperoleh izin khusus dari regulator seperti OJK.
Pendekatan ini dinilai memberikan keseimbangan antara ruang inovasi dan perlindungan konsumen.
Chairman Indodax, Oscar Darmawan, menilai bahwa pengesahan regulasi ini adalah titik balik penting dalam sejarah teknologi blockchain di Indonesia.
Baca Juga: Startup Blockchain NUSA Finance Gandeng LISK, Permudah Anak Muda Akses Investasi Digital
“Ini bukan sekadar pengakuan, melainkan penegasan bahwa negara hadir untuk mendampingi pertumbuhan teknologi yang membawa transparansi, efisiensi, dan desentralisasi dalam berbagai lini kehidupan,” ujar Oscar, Jumat (4/7/2025).
“Selama ini blockchain lebih sering diasosiasikan semata dengan aset kripto. Padahal, kekuatan utamanya justru terletak pada kemampuannya menciptakan infrastruktur kepercayaan yang independen dari otoritas pusat. Regulasi ini membuka jalan untuk eksplorasi lebih luas dari distribusi bansos yang transparan hingga sistem rantai pasok pangan yang akuntabel,” jelasnya.
Oscar juga mengapresiasi keberanian pemerintah mengklasifikasikan risiko kegiatan blockchain secara spesifik. Menurutnya, pendekatan berbasis risiko adalah langkah progresif yang akan membantu pelaku industri memahami posisi hukum sejak awal tanpa harus menavigasi birokrasi yang rumit.
“Ini akan menurunkan hambatan masuk bagi inovator dan startup lokal. Banyak pengembang muda yang sebelumnya ragu memulai proyek karena ketidakjelasan regulasi. Dengan PP ini, mereka punya dasar hukum yang konkret, bisa mengakses perizinan secara daring, dan memiliki kredibilitas di mata investor,” lanjut Oscar.
PP 28/2025 juga mengatur pengawasan ketat terhadap pelaku usaha yang tidak aktif selama tiga tahun. Jika tidak ada kegiatan signifikan, izin usaha dapat dicabut secara administratif.
Ini menjadi pemicu bagi pelaku industri untuk terus menjaga keberlanjutan proyek dan tidak sekadar menciptakan solusi temporer.
Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menyambut era blockchain.
“Regulasi hanyalah pintu awal. Yang terpenting adalah bagaimana kita bersama-sama pemerintah, swasta, komunitas, akademisi untuk membangun ekosistem yang tumbuh dari bawah dan memecahkan masalah nyata di masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, Oscar berharap pemerintah dapat melanjutkan momentum ini dengan membentuk roadmap pengembangan blockchain nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
“Kita butuh arah jangka panjang. Blockchain bukan sekadar tren, ia adalah fondasi baru dalam tata kelola digital.” pungkasnya.