Suara.com - Ketergantungan Indonesia terhadap pasar ekspor tradisional seperti Amerika Serikat menjadi sorotan serius di tengah ketidakpastian perdagangan global. Untuk mengantisipasi dampak kebijakan proteksionis, termasuk tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump, pemerintah kini gencar membuka pasar ekspor baru ke negara-negara non konvensional.
Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Tony Prianto menjelaskan, langkah ini diwujudkan melalui Program Penugasan Khusus Ekspor (PKE). Program ini bertujuan memperluas akses ekspor ke kawasan yang selama ini belum menjadi fokus utama, seperti Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur, dan Asia Selatan.
“Terkait tarif Trump, ekspor kita ke Amerika pasti terdampak, tetapi memang mitigasinya adalah salah satu yang kita shifting untuk membuat yang negara-negara tujuan ekspor yang non-tradisional," tutur Tony dalam media briefing di Hotel Meruorah, Labuan Bajo, NTT pada Kamis (10/7/2025).
Program PKE ini memanfaatkan skema National Interest Account (NIA) yang memungkinkan pemerintah memberikan dukungan pembiayaan dan proteksi asuransi kepada eksportir.
Lebih lanjut Tony menjelaskan, skema NIA yang menjadi basis PKE mendukung kegiatan ekspor yang secara komersial layak (feasible), tetapi belum dianggap layak oleh perbankan (non-bankable). Melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), pemerintah memberikan pembiayaan sekaligus proteksi asuransi untuk memastikan ekspor ke negara non-tradisional dapat dieksekusi dengan lebih aman. Hal ini sangat penting karena ekspor ke negara non-tradisional sering kali terkendala risiko keamanan, logistik, dan infrastruktur yang belum memadai.
"Ekspor ke pasar konvensional relatif nyaman karena infrastruktur, asuransi, dan shippingnya sudah in place. Namun, kalau ke negara-negara seperti Fiji, mungkin Zimbabwe pelaku ekspor sering menghadapi tantangan besar. PKE memberikan jaminan dan pembiayaan,” jelas Tony.
Pemerintah berharap upaya membuka pasar ekspor baru ini akan meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global dan mengurangi risiko akibat ketergantungan pada pasar konvensional.
“Kalau kita terus bergantung pada satu atau dua pasar besar, risiko akan semakin tinggi ketika terjadi gejolak. Dengan memperluas pasar, kita bisa menjaga keberlanjutan ekspor nasional,” tegas Tony.
Dalam kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas Direktur Pelaksana Pengembangan Bisnis LPEI, Maqin U Norhadi menambahkan, pemerintah telah meluncurkan program PKE dikhususkan untuk mendukung ekspor ke pasar alternatif agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada negara besar seperti Amerika.
Baca Juga: Tarif Trump 32 Persen Ancam PHK Massal, Ekonom : Pemerintah Gagal Negosiasi, Rakyat Menanggung
“PKE Kawasan ini sudah diarahkan ke Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Ini adalah langkah antisipatif yang sudah berjalan bahkan sebelum ada kebijakan tarif dari Presiden Trump,” kata Maqin.
LPEI tercatat telah menyalurkan pembiayaan senilai Rp26 triliun untuk program PKE hingga Juni 2025 dan menembus ekspor lebih dari 90 negara di dunia. Realisasi program PKE menghasilkan devisa senilai 4,18 juta dolar AS atau setara Rp66,3 triliun. Terdapat lebih dari 29 komoditas/produk yang diekspor melalui program PKE, seperti pesawat terbang, kereta api, vaksin, alat kesehatan, furnitur, makanan olahan, dan produk kimia.
Sebagai informasi, Pemerintah AS memastikan tetap memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen untuk seluruh produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025, dan diumumkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump melalui surat resmi yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Dalam surat tertanggal 7 Juli dan berkop Gedung Putih itu, yang juga diunggah langsung oleh Trump di akun media sosialnya, ia menyatakan bahwa kebijakan tersebut merupakan kelanjutan dari tarif resiprokal yang telah diumumkan sebelumnya pada April. Meski proses negosiasi perdagangan antara kedua negara masih berlangsung secara intensif, Trump menegaskan bahwa angka tarif sebesar 32 persen akan tetap diberlakukan. ***