Suara.com - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan hasil studinya soal pengenaan tarif Trump 32 persen terhadap Indonesia. Salah satunya, Indonesia akan kehilangan serapan tenaga kerja hingga 1,2 juta orang.
CELIOS menjelaskan, tarif Trump berimbas ke sektor padat karya seperti pakaian jadi, alas kaki beserta produk ekspor lain yang signifikan.
Selain itu estimasi penurunan nilai ekspor Indonesia sebesar Rp 105,98 triliun dan pendapatan masyarakat terkoreksi Rp 143,87 triliun.
![Donald Trump Biang Kerok Runyamnya Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 [Tangkap layar Youtube]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/24/54963-donald-trump.jpg)
Dengan berlakunya tarif resiprokal per 1 Agustus maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menyentuh di level 4,7 - 4,8 persen year on year.
Direktur Studi China-Indonesia CELIOS, Muhammad Zulfikar Rakhmat, membiarkan kekosongan posisi Duta Besar RI untuk AS sejak 2023 adalah langkah diplomatik yang tidak dipertimbangkan dengan baik.
"Saat tarif diumumkan, Indonesia tidak punya wakil penuh di Washington. Di saat negara seperti Vietnam memperkuat diplomasi dan produksi mereka di AS, kita justru membiarkan celah ini terbuka lebar," ujar Zulfikar dalam keretangan tertulisnya, Kamis (10/7/2025).
Desak Reshuffle
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan kegagalan negosiasi bisa jadi pemicu Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan perombakan kabinet.
"Jika Indonesia ingin memperkuat posisi globalnya, perombakan kabinet adalah langkah yang tidak bisa ditunda," jelasnya.
Baca Juga: Soal Tarif Trump 32 Persen, Nasib RI Ditentukan 3 Minggu Lagi
Bhima memandang, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto jelas telah gagal dalam merancang strategi ekonomi luar negeri yang efektif.
"Menteri Keuangan Sri Mulyani, meskipun memiliki pandangan teknokratik yang tajam, tidak lagi cukup didengar dalam pengambilan keputusan strategis. Sementara Menteri Luar Negeri Sugiono tampak hanya menjalankan fungsi simbolik, bukan diplomatik yang substantif," kata Bhima.
Sementara, Peneliti CELIOS, Yeta Purnama, menyebut koordinasi antar kementerian dalam menghadapi krisis ini tampak lemah dan tidak selaras dengan kebutuhan strategis negara.
"Indonesia butuh menteri-menteri yang berani menyuarakan kepentingan publik, bukan sekadar menjalankan instruksi politik. Pembaruan arah kebijakan hanya bisa terjadi bila orang-orangnya juga diperbarui," kata Yeta.