Suara.com - Kesepakatan pemangkasan tarif impor produk Indonesia antara Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump menjadi 19 persen ternyata membawa konsekuensi strategis yang luas bagi sektor energi nasional.
PT Pertamina (Persero) kini tengah bersiap untuk melakukan impor minyak mentah (crude) dan liquefied petroleum gas (LPG) dari Amerika Serikat (AS). Langkah ini merupakan bagian tak terpisahkan dari hasil negosiasi tarif dagang antara pemerintah Indonesia dengan Negeri Paman Sam.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengungkapkan bahwa Pertamina telah mengambil langkah proaktif. Perusahaan energi pelat merah ini telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan sejumlah mitra di AS untuk pengadaan minyak mentah dan penambahan porsi LPG.
"Jadi kalau dari Pertamina nya sendiri, memang kita sudah melakukan kerja sama MoU, bersifat MoU, dengan beberapa mitra kami di Amerika Serikat," ujar Fadjar di Jakarta, dikutip Jumat (18/7/2025).
Fadjar membeberkan detail yang cukup mengejutkan terkait impor LPG. Saat ini, porsi impor LPG dari AS sudah mencapai 57 persen dari total kebutuhan Pertamina, dan tengah dijajaki untuk dapat dinaikkan lebih lanjut menjadi 60 persen. Meskipun demikian, dari segi volume dan nilai kontrak secara spesifik, Fadjar belum dapat membeberkannya.
"Jadi yang penting kita mendukung pemerintah, kita kontribusi Pertamina ke pemerintah yang melalui kerja sama itu," tambahnya, menegaskan peran Pertamina dalam mendukung kebijakan luar negeri dan ekonomi pemerintah.
Di sisi lain, rencana impor minyak mentah dari AS akan dilakukan secara bertahap. Fadjar menjelaskan bahwa realisasi impor ini sangat bergantung pada beberapa faktor krusial: kebutuhan dalam negeri, kesiapan kilang-kilang Pertamina untuk menampung, dan kapasitas fiskal negara.
"Masih terbuka sifatnya, jadi nanti akan terlihat kebutuhan, kemudian kapasitas fiskal kita juga, dan kesiapan kilang-kilang kita juga nanti untuk menampung. Tapi intinya peluangnya ada untuk peningkatan, mulai minyak mentah dan LPG," katanya, memberikan sinyal positif tentang diversifikasi sumber pasokan energi.
Untuk dapat melaksanakan rencana impor minyak dan LPG dari AS ini, Pertamina memerlukan payung hukum yang kuat dari pemerintah. Fadjar menegaskan bahwa dukungan regulasi sangat krusial untuk menjustifikasi dan memuluskan proses pengadaan dari AS.
Baca Juga: Kilat 17 Menit, Dampak Bertahun-tahun: Diplomasi Dagang Prabowo-Trump
"Nah, untuk melakukan itu kita perlu dukungan regulasi dari pemerintah, untuk menjustifikasi bahwa kita bisa melakukan pengadaan dari sana," tegas Fadjar.