Suara.com - Fenomena "Rojali" alias rombongan jarang beli di pusat perbelanjaan atau mal, kini menjadi sorotan tajam. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahkan ikut angkat bicara terkait tren sosial baru ini, di mana masyarakat ramai-ramai mendatangi mal namun minim melakukan pembelian.
Menurut Airlangga, ada pergeseran signifikan dalam perilaku konsumen. "Sekarang memang trennya kebanyakan ke mal itu makan dan itu beberapa lama terakhir kan trennya ke sana. Makanya banyak mal yang memperbanyak kuliner," kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Pernyataan ini menggarisbawahi realitas bahwa mal-mal kini lebih berfungsi sebagai destinasi kuliner dan rekreasi sosial, bukan lagi semata-mata pusat belanja. Tak heran jika banyak pengelola mal berlomba-lomba memperluas area food court dan deretan restoran, demi menarik pengunjung yang kini berorientasi pada pengalaman bersantap.
Selain tren "Rojali" yang doyan makan, Airlangga juga menyoroti beralihnya pola perbelanjaan ke platform online. Kemudahan dan beragam pilihan yang ditawarkan e-commerce menjadi daya tarik utama yang mengikis kunjungan belanja fisik ke mal.
Kalau pun ada daya tarik belanja di mal, kata Airlangga, itu pun harus didorong dengan berbagai acara menarik dan gelontoran diskon besar-besaran. Ini menjadi tantangan besar bagi para peritel konvensional yang harus berjuang keras di tengah ketatnya persaingan dengan toko online.
Oleh karena itu, pemerintah, melalui Menko Airlangga, menegaskan akan terus mendorong pelaku usaha untuk berinovasi. Membuat berbagai acara yang memikat dan rajin memberikan diskon menjadi strategi utama untuk kembali menarik minat belanja masyarakat di mal.
"Ini diupayakan pemerintah untuk mendorong ada event baru lagi untuk diskon. Kalau ke depan ya kita persiapkan lagi untuk Nataru di akhir tahun," ujar Airlangga. Pemerintah bahkan sudah menyiapkan gelaran diskon besar-besaran menyambut Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025-2026.
Fenomena "Rojali" ini adalah cerminan perubahan perilaku konsumen yang perlu direspons serius oleh industri ritel dan pengelola mal. Jika tidak beradaptasi, pusat-pusat perbelanjaan fisik mungkin akan semakin kehilangan daya tariknya sebagai destinasi belanja utama, dan hanya akan menjadi "surga" bagi para pemburu kuliner semata.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengungkapkan bahwa fenomena 'Rojali' patut diamati lebih jauh. Meskipun tidak selalu mencerminkan kemiskinan, Ateng menekankan bahwa ini adalah gejala sosial yang bisa mengindikasikan tekanan ekonomi, terutama pada kelompok rentan.
Baca Juga: Pemerintah Tak Tarik Beras Oplosan di Ritel, Tapi Minta Turunkan Harga
"Fenomena Rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan, tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial dan bisa jadi ada untuk refresh atau tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan," kata Ateng dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025).
Yang mengejutkan, fenomena 'Rojali' ini ternyata tidak hanya menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah, melainkan juga bisa melanda masyarakat kelas atas. Ateng mengungkapkan, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, terjadi kecenderungan kelompok masyarakat atas agak menahan konsumsi mereka.
"Berdasarkan data Susenas 2025, kelompok atas memang agak menahan konsumsinya. Ini kita amati dari Susenas," beber Ateng, menunjukkan bahwa daya beli masyarakat, bahkan di lapisan atas, sedang dalam mode 'rem'.
Ini berarti, sinyal tekanan ekonomi bisa jadi lebih meluas dari yang diperkirakan, bukan hanya dirasakan oleh masyarakat miskin atau rentan, tetapi juga oleh segmen yang selama ini dikenal memiliki daya beli tinggi.
Fenomena 'Rojali' ini, menurut BPS, sangat penting untuk dicermati oleh pemerintah. Ini adalah sinyal penting yang harus direspons dengan mendesain ulang arah kebijakan. BPS menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada upaya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga harus mulai memperhatikan ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah.
"Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah," pungkas Ateng.