Suara.com - Praktisi hukum Gatot Hadi Purwanto mengingatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI agar lebih cermat dan berhati-hati dalam menghitung kerugian negara, khususnya dalam kasus dugaan korupsi cap lebur emas PT Aneka Tambang (Antam) Tbk yang tengah menjadi sorotan publik.
Menurut Gatot, pendekatan hukum dalam perkara pidana korupsi tidak bisa hanya bertumpu pada asumsi kerugian semata. Ia merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang mensyaratkan adanya unsur kerugian nyata terhadap keuangan atau perekonomian negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
"Dalam praktik hukum pidana Indonesia, kerugian negara tidak bisa hanya bersifat potensi atau spekulatif. Ini ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 25/PUU-XIV/2016, yang menyatakan bahwa kerugian negara harus bersifat nyata (actual loss). Artinya, kerugian tersebut telah benar-benar terjadi dan terukur, bukan sekadar prediksi hilangnya potensi pendapatan negara," ujar Gatot kepada wartawan, Minggu (27/7/2025).
Pernyataan ini disampaikan Gatot menanggapi simpang siur angka kerugian negara dalam kasus yang menyeret enam mantan pejabat Unit Bisnis Pengelolaan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLM) PT Antam tersebut.
Awalnya, angka kerugian disebut mencapai Rp5,9 kuadriliun. Namun dalam dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Mei lalu, nilai tersebut dikoreksi menjadi Rp3,3 triliun.
Gatot menilai, nominal tersebut masih perlu diuji secara yuridis. Ia mempertanyakan apakah jumlah itu benar-benar mencerminkan kerugian negara yang aktual.
"Namun, pertanyaannya: apakah angka ini mencerminkan kerugian negara yang aktual?" katanya.
Jika perhitungan tersebut hanya berdasarkan pada selisih harga pasar dan estimasi potensi pajak yang tidak dibayarkan, sambung Gatot, maka secara hukum positif, nilai itu belum tentu memenuhi kualifikasi kerugian negara. Terlebih jika tidak disertai bukti konkret bahwa uang tersebut benar-benar menguap dari kas negara atau kas BUMN.
"Ada perbedaan antara potensi kerugian (potential loss) dan kerugian aktual (actual loss). Dalam hukum kita, yang dapat membentuk tindak pidana korupsi hanyalah kerugian yang aktual dan pasti."
Baca Juga: Investasi Emas Digital: Aman atau Sekadar Tren? Ini Tips dan Cara Memulainya
Gatot juga mengutip putusan Mahkamah Agung dalam perkara serupa, seperti Putusan No. 21 K/Pid.Sus/2009, yang menegaskan bahwa unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi harus dibuktikan melalui lembaga yang berwenang—yakni BPK atau BPKP.
Seperti diketahui, pada 27 Mei 2026, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan vonis kepada enam orang mantan pejabat PT Antam dalam kasus cap lebur emas tersebut. Mereka didakwa terlibat dalam praktik penjualan logam mulia di luar prosedur resmi perusahaan antara tahun 2010 hingga 2022.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan mereka menyebabkan kerugian negara sebesar Rp3,3 triliun. Keenam terdakwa masing-masing dijatuhi hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp750 juta, subsidair 4 bulan kurungan.
Enam terdakwa tersebut adalah Tutik Kustiningsih, Herman, Iwan Dahlan, Dody Martimbang, Abdul Hadi Aviciena, dan Muhammad Abi Anwar. Nama terakhir, Dody Martimbang, diketahui pernah menjadi terpidana dalam kasus lain terkait korupsi kerja sama pengolahan anoda logam antara Antam dan PT Loco Montrado yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).