Kepercayaan Publik sebagai Fondasi Pajak Digital Indonesia

M Nurhadi Suara.Com
Minggu, 24 Agustus 2025 | 08:35 WIB
Kepercayaan Publik sebagai Fondasi Pajak Digital Indonesia
ARSIP- Seorang perempuan saat mengakses smartphone kala beraktivitas di Kawasan Sudirman - kepercayaan warga sebagai kunci masa depan pajak digital Indonesia. [Suara.com/Alfian Winanto]

"Pajak yang dirancang dengan baik bukan hanya tentang mengumpulkan uang, melainkan juga bagaimana mendapatkan kepercayaan masyarakat dan mewujudkan ekonomi yang lebih efisien dan adil."

Suara.com - Kutipan tersebut dilontarkan oleh peraih Nobel, Joseph E. Stiglitz, pada tahun 2012 dalam bukunya, The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future. Buku ini ia tulis ketika pemberontakan meletus di Tunisia, Libya, dan Mesir, serta puncak gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat. Sederet peristiwa yang menggambarkan puncak ketidakpercayaan publik.

Pernyataan ini bukan sekedar postulat teoretis, melainkan bisa menjadi salah satu fondasi dari arah ekonomi nasional di masa depan, masa di mana transaksi fisik makin ditinggalkan, digantikan oleh ranah digital yang tidak terbatas.

Dengan perkembangan yang masif ini, kepercayaan menjadi ‘mata uang’ yang tidak tergantikan, dan efisiensi bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan.

Indonesia yang terus bertansformasi secara digital dengan pesat, hingga kini terus beradaptasi guna menentukan fondasi fiskal yang lebih kokoh untuk mendanai cita-cita besar, seraya bergulat dengan tantangan yang melekat pada perubahan itu sendiri.

Evolusi Lanskap Fiskal, Dari Kertas ke Algoritma

Sejak dijalankan pada 1984, arsitektur perpajakan Indonesia sangat bergantung pada model self-assessment. Meskipun menempatkan kepercayaan pada wajib pajak, model ini secara inheren membuka celah bagi shadow economy (aktivitas ekonomi yang tidak tercatat dan tidak terpajaki).

Kebangkitan e-commerce dalam dekade terakhir semakin memperlebar celah ini. Jutaan transaksi terjadi di ruang virtual, menghasilkan pendapatan riil bagi para pelaku usaha, yang sayangnya, seringkali tidak terdeteksi radar fiskal negara.

Pemerintah lantas mulai menggeser paradigma, sebagai respon adaptif terhadap perkembangan ini. Alih-alih hanya mengejar wajib pajak secara individual, negara mulai memanfaatkan teknologi untuk menjadikan platform e-commerce sebagai mitra pemungutan.

Langkah ini ditandai kebijakan yang 'merangkul' platform sebagai pemungut PPh Pasal 22 dan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Cukup revolusioner, karena langkah ini didesain secara bijak dengan mengecualikan pelaku usaha mikro beromzet di bawah Rp 500 juta. Sebuah kebijakan yang bertujuan melindungi segmen paling rentan dalam ekosistem digital.

Baca Juga: Sri Mulyani Tetapkan Target Ambisius: Ekonomi RI Dibidik Tumbuh 5,4% di 2026, Langkah Awal Menuju 8%

Hasilnya pun mulai terlihat.

Pada 2023 lalu, hanya dari penerimaan dari PPN PMSE saja sudah  menyumbang sekitar Rp 13,87 triliun ke kas negara. Nilai tersebut berasal dari 139 pelaku usaha digital (Kementerian Keuangan, 2024), sebuah bukti sahih bahwa digitalisasi adalah keran pemasukan baru yang sangat potensial.

Potensi Fiskal yang Belum Tergali Penuh

Laporan bertajuk e-conomy SEA yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company pada 2023 lalu memproyeksikan nilai transaksi digital Indonesia akan terus melonjak, dari US$ 82 miliar (berkisar Rp 1.330 triliun) pada 2023 menjadi US$ 360 miliar (sekitar Rp 5.680 triliun) pada tahun 2030, yang menandakan bahwa momen digitalisasi di Indonesia kini tengah melaju kencang, ditopang dengan e-commerce sebagai mesin utama, dilengkapi dukungan pertumbuhan kuat di sektor fintech, layanan on-demand, dan media digital.

Infrastruktur pendukung terkait juga turut berkembang pesat. Seperti QRIS yang saat ini sudah menjelma sebagai metode bayar yang lazim sekaligus menjadi urat nadi transaksi ritel. Bank Indonesia mencatat, pada kuartal I 2024, jumlah penggunaan QRIS tembus lebih dari 50 juta dengan volume transaksi tahunan menembus puluhan triliun rupiah. Fenomena ini menunjukkan besarnya penetrasi digital dalam negeri, mulai dari level mikro. Pemerintah bergerak cepat, guna memperluas basis pajak dan menekan shadow economy dengan memperkenalkan regulasi yang mengharuskan e-commerce memotong PPh final sebesar 0,5% dari nilai penjualan untuk disetorkan ke negara (Reuters, 2024).

Secara agregat, penerimaan negara menunjukkan pertumbuhan positif sekitar 10,9% menjadi Rp 1.210,19 pada semester I 2025. Angka ini adalah sinyal yang menunjukkan bahwa digitalisasi bukan lagi sekadar tren, melainkan telah menjadi salah satu pilar fundamental ketahanan fiskal negara.

Total Nilai Penjualan Sektor Ekonomi Digital Negara di Wilayah Asia Tenggara [Google, Temasek, Bain & Company via GoodStats]
Total Nilai Penjualan Sektor Ekonomi Digital Negara di Wilayah Asia Tenggara [Google, Temasek, Bain & Company via GoodStats]

Meski demikian, optimisme harus diimbangi dengan kewaspadaan. Jalan menuju digitalisasi fiskal yang adil dan efisien tidaklah mulus. Setidaknya ada empat tantangan krusial yang harus dihadapi:

1.    Kesenjangan Infrastruktur Digital

Laporan berbagai lembaga, termasuk Bank Dunia, konsisten menyoroti adanya kesenjangan digital (digital divide) antara wilayah urban dan rural. Konektivitas internet yang terbatas dan literasi teknologi yang belum merata di kalangan UMKM di daerah terpencil menjadi penghalang utama bagi partisipasi ekonomi yang inklusif dan kepatuhan pajak yang adil.

2.    Fragmentasi Data dan Regulasi

Integrasi data antar-lembaga pemerintah seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Bea Cukai, dan Pemerintah Daerah masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Fragmentasi ini menciptakan redundansi, melemahkan pengawasan, dan menambah beban administratif bagi pelaku usaha.

3.    Kepatuhan dan Keadilan Fiskal

Digitalisasi harus diimbangi dengan edukasi fiskal yang merata. Pelaku usaha mikro dan informal yang baru memasuki ekosistem digital perlu didampingi agar tidak merasa terbebani oleh kewajiban pajak. Kebijakan harus terasa adil, bukan punitif, untuk mendorong kepatuhan sukarela.

4.    Rancangan Kebijakan yang Berimbang

Prinsip keseimbangan kebijakan menjadi sangat vital. Seperti yang diungkapkan Anginer & Demirguc-Kunt (2014) dalam konteks asuransi simpanan, sebuah kebijakan yang dirancang dengan niat baik bisa menimbulkan moral hazard jika tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat.

Prinsip ini berlaku pula dalam perpajakan digital. Regulasi yang terlalu agresif dapat mendorong pelaku usaha kembali ke ranah informal atau shadow economy, sementara regulasi yang terlalu longgar akan gagal mengoptimalkan potensi penerimaan.

Masa depan penerimaan negara di era digital tidak lagi ditentukan oleh seberapa besar tarif yang dikenakan, melainkan dari seberapa cerdas, adil, dan transparan ekosistem fiskal yang kita bangun. Ini adalah tentang integrasi data, otomatisasi pemungutan, penggunaan kecerdasan buatan untuk pengawasan, dan yang terpenting, membangun kepercayaan publik.

Seperti yang disampaikan Stiglitz, kepercayaan rakyat adalah modal utama membangun fondasi pajak digital yang kuat. Ketika masyarakat, dari pelaku UMKM di desa hingga raksasa e-commerce di kota, merasakan bahwa sistem pajak itu mudah, adil, dan transparan, maka kepatuhan akan tumbuh secara organik.

Penerimaan negara yang kuat dan berkelanjutan inilah yang akan menjadi bahan bakar dari ‘mesin’ dalam mewujudkan pilar-pilar utama untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, yakni pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta membiayai transisi energi.

Perjalanan menuju bangsa yang makmur dan cerdas akan dimulai dari sebuah klik digital, data yang terbaca, dan kepercayaan publik yang terjaga.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?