Ahli Ungkap Efektivitas dan Tantangan Program MBG

Jum'at, 31 Oktober 2025 | 14:58 WIB
Ahli Ungkap Efektivitas dan Tantangan Program MBG
Ilustrasi menu program makan bergizi gratis alias MBG. (ist)
Baca 10 detik
  • Program Makanan Bergizi (MBG) hadir sebagai salah satu strategi pemerintah untuk menjawab tantangan gizi buruk di Indonesia.
  •  Program ini bukan sekadar penyediaan makanan, melainkan investasi jangka panjang untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.
  • Indonesia saat ini menghadapi beban gizi ganda atau triple burden of malnutrition, yang mencakup stunting, anemia, dan obesitas yang semakin meningkat.

Suara.com - Program Makanan Bergizi (MBG) hadir sebagai salah satu strategi pemerintah untuk menjawab tantangan gizi buruk di Indonesia. Program ini bukan sekadar penyediaan makanan, melainkan investasi jangka panjang untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.

Lantas, bagaimana efektivitas program ini dalam mengatasi masalah gizi dan apa tantangan di lapangan?

Indonesia saat ini menghadapi beban gizi ganda atau triple burden of malnutrition, yang mencakup stunting, anemia, dan obesitas yang semakin meningkat, terutama pada anak-anak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Permasalahan stunting, ternyata tidak hanya tentang tinggi badan, tetapi berdampak luas pada penurunan kualitas hidup, tingkat IQ, dan potensi daya ekonomi anak di masa depan. Hal ini secara langsung mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dalam jangka panjang.

Hal ini senada dengan yang disampaikan Mochammad Rizal, MS, RD, Ahli Gizi yang tengah menempuh studi PhD pada bidang International Nutrition, Cornell University, New York, Amerika Serikat.

“Jadi permasalahan gizi yang ingin kita atasi saat ini bukan hanya tentang tinggi badan. Oleh karena itu pemerintah mengklaim bahwa MBG adalah investasi jangka panjang untuk Indonesia emas 2045,” jelasnya, Jumat (31/10/2025).

Secara ideal, intervensi gizi yang paling spesifik untuk mengatasi masalah stunting secara langsung adalah menyasar target ibu hamil hingga anak usia dua tahun. Saat ini, masalah utama yang ingin dijawab MBG adalah memastikan akses pangan bagi anak-anak dari keluarga menengah ke bawah. Jika dijalankan dengan tepat sasaran, konsisten, dan menyajikan makanan bergizi berkualitas, MBG dapat memberikan dampak berantai yang positif. Dampak yang paling utama adalah peningkatan kesehatan dan gizi.

“Dalam jangka pendek yang bisa kita saksikan adalah peningkatan status gizi dan kesehatan anak akan meningkat, seperti misalnya penurunan angka anemia. Anak-anak yang tumbuh sehat hari ini, kelak akan melahirkan generasi yang bebas stunting.” jelas Rizal.

Selain peningkatan taraf kesehatan dan status gizi, hal lain yang menjadi harapan dari MBG adalah dapat memotivasi anak untuk semangat datang ke sekolah. Dengan perut terisi makanan bergizi, konsentrasi belajar diharapkan meningkat. Tidak berhenti sampai di sana, program ini juga diharapkan mampu mendongkrak produktivitas rantai pasok pangan lokal, seperti petani, nelayan, dan katering lokal.

Namun begitu, implementasi MBG di lapangan tidak lepas dari berbagai tantangan kompleks. Kebiasaan makan anak sekarang yang terbiasa mengkonsumsi Ultra Processed Food (UPF) seperti snack, permen, serta makanan tinggi gula, garam, dan lemak menjadi tantangan.

Baca Juga: Protein Ekstra atau Kontaminasi? Kasus Ulat di Menu MBG Bangkalan

“Menu MBG yang ideal justru berisiko tinggi tidak dihabiskan (food waste). Sebaliknya, memberikan menu berbasis UPF seperti nugget ataupun sosis, agar makanan habis, justru mengalihkan tujuan utama pemenuhan gizi dari program ini. Perlu strategi bertahap untuk mengubah perilaku makan siswa saat ini,” ujar Rizal.

Untuk mengukur adanya perubahan perilaku pola makan sehat di sekolah, dilakukan evaluasi makanan yang habis atau tidak habis dikonsumsi secara berkala. Selain itu sekolah juga diharapkan untuk mengumpulkan data jumlah makanan tidak layak konsumsi, hingga pelaporan jumlah kejadian tak terduga, termasuk insiden keamanan pangan yang terjadi di sekolah. Panduan evaluasi ini tertuang dalam Panduan Implementasi Program MBG di Satuan Pendidikan yang disusun Kemendikdasmen (2025).

Selain itu, dalam upaya mengukur dampak MBG, sekolah dihimbau untuk melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, serta indeks massa tubuh siswa setiap enam bulan sekali. Tidak hanya itu, sekolah juga diwajibkan mengukur perubahan perilaku siswa tentang gizi dan perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah.

Melalui panduan tersebut, harapannya pengumpulan data yang komprehensif seperti, data jumlah penerima manfaat, data menu MBG, data food waste, dan status gizi sebelum dan setelah MBG berjalan, menjadi basis data sangat penting untuk evaluasi kebijakan. Lebih jauh lagi, apabila memang hasilnya positif, hal tersebut menjadi validasi bahwa MBG adalah program yang baik dan perlu dipertahankan.

Peran ahli gizi dalam program ini pun menjadi sangat krusial, baik untuk memastikan gizi seimbang maupun keamanan pangan terimplementasi dengan baik. Namun, beban kerja yang tidak ideal menjadi tantangan yang perlu segera diperbaiki.

“Sejauh yang saya dengar dengan rasio 1 ahli gizi untuk memantau 3000-4000 porsi itu sangat berat. Beban ini berpeluang membuat terjadinya insiden keamanan pangan. Namun regulasi baru yang saya dengar telah membatasi produksi maksimal 2000 porsi pada Satuan Penyediaan Pangan Bergizi (SPPG). Ini adalah langkah perbaikan yang baik, karena bisa mengurangi beban kerja dan risiko keamanan pangan,” ujar Rizal.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI