- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat pada Senin, 17 November 2025, mencapai level 8.407 atau naik 0,44 persen hingga pukul 09.10 WIB.
- Pada sesi perdagangan tersebut, tercatat 3,56 miliar saham diperdagangkan dengan nilai transaksi mencapai Rp 1,99 triliun, menunjukkan aktivitas pasar yang signifikan.
- Proyeksi IHSG bearish oleh Phillip Sekuritas berada dalam rentang 8.250 hingga 8.480 dipengaruhi sentimen global beragam dan suku bunga AS.
Suara.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat di awal sesi perdagangan Senin, 17 November 2025. IHSG menghijau di level 8.397.
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga pukul 09.10 WIB, IHSG terus melesat ke level 8.407 atau naik 0, 44 persen.
Pada perdagangan pada waktu itu, sebanyak 3,56 miliar saham diperdagangkan dengan nilai transaksi sebesar Rp 1,99 triliun, serta frekuensi sebanyak 275.100 kali.
Dalam perdagangan di waktu tersebut, sebanyak 297 saham bergerak naik, sedangkan 228 saham mengalami penurunan, dan 431 saham tidak mengalami pergerakan.
![Pengunjung melintas dibawah layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (18/3/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/18/55308-ihsg-ihsg-anjlok-bursa-efek-indeks-harga-saham-ilustrasi-bursa-ilustrasi-ihsg.jpg)
Adapun, beberapa saham yang menjadi Top Gainers pada waktu itu diantaranya, BESS, BREN, CBDK, DSSA, ICBP, PANI, PBSA, PGJO, PTRO, PURI.
Sedangkan, saham yang masuk dalam Top Loser diantaranya, ADMF, AMFG, AMMN, ARTA, BINAA, GGRM, ITMG, JARR, JSPT, MGLV,
Proyeksi IHSG
IHSG diprediksi bergerak bearish pada perdagangan Senin (17/11/2025). Phillip Sekuritas Indonesia menilai IHSG akan berada dalam rentang support 8.250 dan resistance 8.480, di tengah sentimen global yang kurang kondusif.
Pasar Asia pagi ini dibuka bervariasi setelah rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang menunjukkan kontraksi ekonomi yang lebih kecil dari perkiraan pada kuartal III-2025. Berdasarkan estimasi awal, ekonomi Jepang menyusut 0,4% secara kuartalan (Q/Q) dan 1,8% secara tahunan (Y/Y). Angka ini berbalik dari ekspansi pada kuartal sebelumnya, namun lebih baik dibanding ekspektasi pasar yang memperkirakan kontraksi lebih dalam.
Baca Juga: Isyaratkan Aksi Korporasi, Saham BRRC Dipantau Investor
Kontraksi ini juga menjadi yang pertama sejak kuartal I-2024. Pelemahan terutama disebabkan turunnya konsumsi rumah tangga akibat tekanan inflasi yang tinggi mulai dari lonjakan harga beras hingga kenaikan biaya listrik. Data ini muncul ketika pemerintahan Perdana Menteri Sanae Takaichi tengah menyiapkan paket stimulus untuk meredam kenaikan biaya hidup dan membantu eksportir Jepang yang terdampak tarif perdagangan AS.
Dari Wall Street, pergerakan indeks AS pada akhir pekan lalu juga tercatat mixed. Dow Jones naik 0,34 persen, S&P 500 menguat tipis 0,08 persen, sedangkan Nasdaq melemah 0,45 persen. Sementara itu, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun naik lebih dari 3 basis poin menjadi 4,15 persen, menambah tekanan terhadap aset berisiko.
Pekan lalu, investor melakukan repricing terhadap kemungkinan penurunan suku bunga acuan Federal Funds Rate pada Desember. Komentar agresif sejumlah pejabat The Fed mempersempit peluang pemangkasan suku bunga menjadi kurang dari 50 persen, jauh turun dari sekitar 95 persen sebulan lalu.
Presiden Fed Minneapolis Neel Kashkari menegaskan belum tertarik menurunkan suku bunga karena ekonomi AS masih tangguh dan inflasi tetap menjadi ancaman. Hal senada disampaikan Presiden Fed Kansas City Jeff Schmid yang menilai pemangkasan suku bunga tidak akan banyak membantu kondisi pasar tenaga kerja. Sementara Presiden Fed Dallas Lorie Logan menuntut bukti inflasi turun lebih cepat sebelum mendukung pelonggaran kebijakan.
Selain itu, data ekonomi Tiongkok yang melemah menambah kekhawatiran soal prospek pertumbuhan global. Di pasar komoditas, harga emas berjangka bahkan ambles lebih dari 2 persen akibat komentar hawkish pejabat The Fed.