Suara.com - Kekalahan memalukan Timnas Indonesia dari Jepang dengan skor telak 0-6 menjadi pukulan keras sekaligus sinyal bahaya menjelang ronde keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Laga yang berlangsung di Suita City Football Stadium, Osaka, pada Selasa (11/6/2025), membuka lebar jurang kualitas antara Garuda dan tim-tim papan atas Asia.
Kehilangan arah permainan, lemahnya pertahanan, hingga keputusan rotasi besar dari pelatih Patrick Kluivert menjadi tiga kendala utama yang memperburuk performa skuad Merah Putih. Berikut ulasan lengkapnya:
1. Skema Defensif yang Kontraproduktif

Patrick Kluivert memilih formasi 5-4-1 sebagai pendekatan utama menghadapi Jepang, strategi yang dinilai terlalu bertahan dan akhirnya menjadi bumerang.
Alih-alih solid di belakang, Garuda justru seperti menumpuk pemain tanpa arah, sementara Jepang dengan mudah mengendalikan permainan melalui penguasaan bola hingga 71 persen.
Minimnya tekanan saat kehilangan bola membuat Jepang bisa leluasa membangun serangan dari segala arah.
Timnas Indonesia hanya bisa bertahan tanpa perlawanan berarti dan hampir tidak memiliki fase penguasaan bola yang efektif.
Statistik membuktikan, Indonesia hanya mampu mencatat 268 operan dengan akurasi 75 persen, kalah jauh dari Jepang yang mencetak 644 operan dengan 90 persen akurasi.
Baca Juga: Apa yang Salah dengan Mees Hilgers? Kutukan di Timnas Indonesia Berlanjut
Tak satu pun tembakan on target diciptakan Indonesia, menegaskan betapa tumpulnya lini serang mereka.
2. Serangan Mandek, Ole Romeny Terisolasi

Kondisi ini semakin diperparah oleh kurangnya kreativitas di lini tengah dan minimnya sokongan dari sektor sayap. Ole Romeny, striker yang dipercaya sebagai ujung tombak, tampak benar-benar terisolasi sepanjang pertandingan.
Strategi menyerahkan seluruh beban serangan kepada Romeny gagal total. Jepang yang sudah mempelajari pola serangan Indonesia dengan mudah memutus suplai bola ke Romeny, membuat sang striker tak mampu menciptakan ancaman berarti.
"Ole Romeny menjadi target utama serangan, namun strategi ini mudah dibaca dan dihentikan oleh Jepang."
Minimnya pergerakan tanpa bola dan variasi serangan dari sisi lapangan membuat pertahanan Jepang tidak pernah benar-benar teruji.
Ke depan, Patrick Kluivert dituntut menyiapkan lebih banyak opsi taktis, termasuk penguatan lini kedua yang bisa menjadi jembatan antara lini tengah dan depan.
3. Lini Belakang Rapuh, Mees Hilgers dan Rotasi Dianggap Bermasalah

Kendala terbesar ada pada pertahanan Indonesia yang tampak tidak siap menghadapi intensitas permainan cepat ala Samurai Biru.
Duet Daichi Kamada dan Takefusa Kubo terlalu bebas bergerak, seringkali mengeksploitasi celah di antara lini belakang Garuda.
Mees Hilgers yang digadang-gadang jadi tembok baru di pertahanan justru tampil di bawah ekspektasi.
Ia kesulitan membaca alur serangan lawan dan kerap telat menutup ruang. Padahal, Jepang melancarkan total 21 tembakan dengan 11 di antaranya tepat sasaran.
Tidak hanya Hilgers, keputusan Kluivert melakukan rotasi besar-besaran juga menuai sorotan tajam.
Pemain seperti Dean James, Yance Sayuri, dan Beckham Putra terlihat belum siap bermain di level intensitas tinggi seperti ini.
"Kekalahan telak ini menjadi bukti bahwa eksperimen besar tanpa persiapan matang bisa berakhir tragis."
Dua gol Jepang yang lahir dalam rentang waktu empat menit di babak pertama menjadi titik balik mental tim yang langsung runtuh.
Setelah kebobolan, konsentrasi para pemain hilang, yang akhirnya dimanfaatkan dengan sempurna oleh Jepang untuk terus menggempur.
Kontributor : Imadudin Robani Adam