Suara.com - Kevin Diks dikenal sebagai sosok bek yang kokoh, tanpa kompromi, dan memiliki mental baja di atas lapangan.
Namun Kevin Diks tak bisa menutupi rasa takut dan kalutnya saat terjebak di tengah kecamuk perang Iran-Israel.
Kevin Diks mengaku tengah berada di Hamad Internasional Airport, Qatar dan mendengar suara ledakan yang diduga berasal dari bom Iran saat menyerang pangkalan militer AS di Qatar.
“Guys, kami sekarang ini berada di Doha dan baru saja mendengar suara ledakan dari tentara Iran. Kami akan terus memberikan perkembangan lebih lanjut,” tulis Kevin Diks, Selasa (24/6/2025) dini hari.
![Klub baru Kevin Diks, Borussia Monchengladbach, saat ini tengah diliputi kekhawatiran setelah pemain anyar mereka pulang dalam kondisi cedera usai membela Timnas Indonesia. [Dok. IG Kevin Diks]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/16/91793-kevin-diks.jpg)
Dalam perkembangan yang terbaru, Kevin Diks mengakui bahwa wilayah udara di Qatar memang sempat dibuka selama dua jam. Akan tetapi, belum ada kepastian soal jadwal penerbangan terbaru.
Bukan tidak mungkin, bakal terjadi keterlambatan penerbangan selama enam hingga tujuh jam. Bahkan, penerbangan menuju Eropa bisa saja dibatalkan karena alasan keamanan karena situasi yang memanas.
"Wilayah udara dibuka untuk dua jam saat ini namun tidak ada seorang pun yang tahu hal yang bakal terjadi dengan penerbangan tiap orang. Entah saya akan mengalami keterlambatan penerbangan selama 6-7 jam atau malah penerbangan itu dibatalkan," kata Kevin Diks.
Pengalaman Kevin Diks itu bukan sekadar "kaget" sesaat.
Bagi otak dan tubuh manusia, terutama bagi seorang atlet yang kondisinya diatur secara presisi, mendengar ledakan bom memicu serangkaian respons fisiologis dan psikologis yang kompleks dan berpotensi merusak.
Baca Juga: Here We Go! Timnas Indonesia OTW Punya Kapten di Klub Besar Eropa
Respons Tubuh: Adrenalin, Kejut, dan Mode Bertahan Hidup
Saat telinga menangkap suara ledakan yang dahsyat, otak primitif manusia—amygdala—langsung mengambil alih.
Ia tidak peduli apakah ledakan itu jauh atau dekat; ia hanya tahu itu adalah sinyal bahaya ekstrem.
Dalam sepersekian detik, tubuh akan membanjiri sistem dengan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol.
Jantung berdebar kencang, napas menjadi cepat dan dangkal, otot-otot menegang, dan indra menjadi sangat tajam. Ini adalah respons "lawan atau lari" (fight or flight) yang dirancang untuk bertahan hidup.
Bagi seorang atlet, kondisi ini mungkin terasa familiar seperti saat akan bertanding, namun konteksnya—ancaman kematian—membuatnya menjadi pengalaman traumatis.
![Belum Main, Kevin Diks Sah Cetak Rekor Luar Biasa di Borussia Monchengladbach [Instagram Kevin Diks]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/21/92821-kevin-diks.jpg)
Paparan suara bertekanan tinggi dari ledakan juga berisiko merusak sistem pendengaran secara fisik, menyebabkan kondisi seperti tinnitus (telinga berdenging) atau bahkan kehilangan pendengaran permanen, sebuah bencana bagi pemain yang mengandalkan komunikasi vokal di lapangan.
Luka Tak Kasat Mata: Trauma Psikologis Jangka Panjang
Efek yang paling berbahaya seringkali tidak terlihat. Setelah adrenalin mereda, luka psikologis bisa mulai muncul dan bertahan lama, mengganggu kehidupan dan karier seorang atlet.
Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD): Ini adalah dampak yang paling umum. Penderitanya bisa mengalami flashback atau mimpi buruk, seolah-olah mereka kembali mengalami momen mengerikan itu. Mereka menjadi sangat cemas dan mudah terkejut.
Bayangkan seorang bek yang sedang fokus di lapangan, tiba-tiba suara keras dari kembang api suporter atau benturan keras antar pemain bisa memicu kembali respons trauma tersebut, membuatnya kehilangan konsentrasi atau bahkan panik.
Kewaspadaan Berlebih (Hypervigilance): Otak yang pernah mengalami trauma akan terus-menerus memindai lingkungan untuk mencari ancaman.
Kondisi "siaga" yang konstan ini sangat menguras energi mental dan fisik. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan kronis, sulit tidur, dan iritabilitas—semua faktor yang sangat merugikan performa seorang atlet elite yang membutuhkan istirahat dan pemulihan optimal.
Penghindaran (Avoidance): Korban trauma mungkin secara tidak sadar mulai menghindari situasi, tempat, atau suara yang mengingatkan mereka pada kejadian tersebut.
Dalam kasus seorang pesepak bola, ini bisa menjadi sangat rumit. Mereka tidak bisa begitu saja menghindari keramaian atau suara keras yang merupakan bagian tak terpisahkan dari atmosfer stadion.
Cerita Kevin Diks adalah pengingat yang kuat bahwa di balik setiap tekel keras dan sundulan kemenangan, ada seorang manusia yang memiliki kerentanan.
Kemampuannya untuk terus bermain di level tertinggi setelah mengalami insiden tersebut adalah bukti ketahanan mental yang luar biasa, sekaligus menyoroti pentingnya dukungan kesehatan mental dalam dunia olahraga profesional.
Trauma adalah cedera yang tak terlihat, namun dampaknya bisa sama melumpuhkannya dengan cedera fisik terparah sekalipun.