Suara.com - Langkah kelompok Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) menggaungkan sistem direct license untuk pembayaran performing rights ke pencipta lagu, masih mendapat perlawanan dari banyak pihak.
Padahal menurut Rieka Roslan sebagai salah satu anggota AKSI, ide penerapan direct license sangat bisa disikapi dengan positif kalau semua pihak mau diajak berkomunikasi.
"Kan kalau disikapi positif, sebetulnya bisa ngobrol aja," kata Rieka Roslan di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (18/4/2025).
Sistem direct license untuk pembayaran performing rights ke pencipta lagu, di mata Rieka Roslan, sama sekali tidak merugikan penyanyi.
Mereka yang tergabung dalam AKSI dan menerapkan direct license tidak menarik bayaran dari penyanyi berpendapatan di bawah Rp10 juta.
"Misalnya penyanyi bayarannya Rp10 juta, kami kan ngenain ke yang Rp10 juta ke atas," tutur Rieka Roslan.
Biaya performing rights sebesar 10 persen dari total pendapatan penyanyi dari pertunjukan pun tidak ditujukan untuk satu pencipta lagu saja.
"Anggap lah Rp10 juta, 10 persennya kan Rp1 juta. Misalnya lagu yang dibawain 10, jadi license-nya cuma Rp100 ribu. Jadi, bukan Rp1 juta setiap lagu, tapi Rp1 juta dibagi jumlah lagu," ujar Rieka Roslan.
Baca Juga: Rieka Roslan Tak Bisa Hidup dari Royalti Lagu, Paling Besar Cuma Rp19 Juta Setahun
Selama ini, salah satu pemicu pro kontra penerapan direct license adalah kekhawatiran para penyanyi soal timbulnya masalah baru kalau pencipta lagu tahu berapa besar pendapatan mereka.
Padahal setahu Rieka Roslan, bukti besaran pendapatan mereka selama ini juga disodorkan ke lembaga manajemen kolektif (LMK) dari pihak promotor untuk menentukan besaran perfoming rights.
"Kalau menganut sistem LMK, mereka menghitung dari dua persen produksi. Kan invoice-nya ditaruh juga, jadi bingung saya," kata Rieka Roslan.
"Kita ngitung produksi dari mana? Panggung berapa, band-nya berapa, lighting-nya berapa, iya enggak sih? Berarti invoice itu akan dicantumkan kan di perhitungan 2 persen itu. Jadi, sebetulnya tidak ada bedanya," ucap mantan vokalis The Groove ini.
Sistem direct license dari AKSI juga tidak akan mengurangi jatah pemasukan penyanyi dari pertunjukan mereka. Melainkan ada biaya tambahan untuk pencipta yang harus dibayarkan pihak promotor dari nilai kontrak mereka.
"Misalnya artisnya Rp10 juta, fee-nya yang diminta ya jadi Rp11 juta. Sama sekali tidak memotong uang dari penyanyi," tutur Rieka Roslan.
"Sama kayak riders aja. Jadi kayak misalkan minta kopi, minta kue, minta tiket, minta hotel. Apakah motong dari fee penyanyi? Enggak kan?," tutur penyanyi 55 tahun ini.

Bedanya, pencipta lagu akan langsung menerima bayaran performing rights tanpa menunggu pengumpulan total pemasukan, seperti yang selama ini diterapkan LMK.
"Yang di AKSI ini, dia langsung ke penulis lagunya. Kalau yang ada di LMK adalah, sistemnya nunggu," ujar Rieka Roslan.
Dengan demikian, mereka yang mengandalkan pemasukan dari royalti bisa langsung memanfaatkan uangnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Kan bayaran dan tagihan enggak bisa nunggu," kata Rieka Roslan menyindir.
Sekali lagi, Rieka Roslan mengajak seluruh pegiat musik Tanah Air untuk duduk bersama membicarakan masalah penerapan sistem direct license untuk hak performing rights pencipta lagu.
"Coba yuk, sama-sama dinginkan kepalanya. Supaya kita sama-sama memperbaharui lah," tutur Rieka Roslan.
Kalau hak para pencipta lagu sudah terpenuhi nantinya, Rieka Roslan yakin kisruh masalah pembayaran royalti seperti sekarang tidak akan terjadi lagi.
"Sebetulnya kalau sistem yang sekarang sudah jalan bagus tuh, enggak akan pernah ada terjadi seperti ini," ucap Rieka Roslan.