Suara.com - Drumer band Superman Is Dead, I Gede Ari Astina atau yang lebih dikenal dengan nama Jerinx, kembali menyuarakan keresahannya terkait keberadaan warga negara asing (WNA), khususnya imigran asal Rusia di Bali.
Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, Jerinx menyoroti fenomena yang belakangan dikenal dengan istilah “Kampung Rusia” di kawasan Parq Ubud, Gianyar, Bali.
Jerinx menyampaikan kekhawatirannya bahwa fenomena tersebut berpotensi mengarah pada bentuk kolonisasi gaya baru oleh warga Rusia.
Ia menuding bahwa lahan di Bali terlalu mudah diperjualbelikan kepada orang asing, sehingga memicu eksodus imigran yang mengubah wajah kebudayaan lokal.
“Bali akan jadi koloni Rusia kalau ini terus dibiarkan,” tulis Jerinx SID dalam unggahan yang mengutip sebuah tulisan dari media nasional.

Ia juga membandingkan situasi tersebut dengan kerusuhan yang terjadi di Los Angeles baru-baru ini yang diduga dipicu oleh imigran ilegal.
“2025. Media mainstream: Imigran ilegal Mexico berhak membakar LA karena mereka telah berjasa membantu perekonomian LA selama ratusan tahun,” tulis Jerinx.
“Media mainstream: Imigran ilegal Rusia berhak membakar Ubud karena mereka telah berjasa membantu perekonomian Ubud selama puluhan tahun,” lanjutnya dalam unggahan tersebut.
Unggahan Jerinx itu pun langsung memancing beragam respons dari warganet.
Baca Juga: Dua Tahun Terabaikan, Kini Stefano Lilipaly Kembali Dipanggil Masuk Timnas Indonesia
Beberapa diantaranya bahkan mendukung keresahan yang disampaikan oleh musisi asal Bali tersebut.

Tak hanya masyarakat biasa, sang istri, Nora Alexandra, turut menyampaikan pendapatnya.
Dalam kolom komentar, Nora mengaku bahwa kehadiran warga asing, khususnya dari Rusia, turut berdampak pada pekerjaannya di dunia modeling.
“Bahkan ada yang kerja modeling dan lain-lain. Pantesan job modeling saya mulai berkurang, selain kalah tinggi, mungkin juga kalah kurus,” tulis Nora Alexandra dengan nada menyindir.
Sementara itu, sejumlah warganet menyatakan bahwa fenomena ini bukan sekadar ancaman di masa depan, melainkan telah menjadi kenyataan yang mereka lihat sendiri di lapangan.
“Bukan akan lagi. Bali sudah mengalami Rusiafikasi,” komentar seorang pengguna.
“Dan sekarang makin menjamur. Dulu cuma kampung, sekarang sudah jadi city-nya,” timpal warganet lainnya.
“Ini tinggal nunggu aja imigran Rusia dipakai sebagai alat politik untuk mendulang suara, seperti halnya kasus imigran ilegal di Amerika Serikat,” tulis komentar lain yang menyamakan situasi di Bali dengan tren politik Internasional.
Seorang warganet bahkan mengaku bahwa fenomena serupa tidak hanya terjadi di Bali, melainkan sudah menyebar ke daerah lain di Indonesia.
“Jangankan di Bali, saya baru tiba di Sumbawa, NTB. Ini masih daerah pedesaan tapi view-nya bagus, dan banyak banget orang Rusia di sini,” ungkapnya.
Parq Ubud sendiri belakangan ini memang menjadi sorotan. Kawasan yang dulunya dikenal sebagai pusat budaya dan spiritualitas kini berubah wajah dengan banyaknya ekspatriat Rusia yang tinggal dan menjalankan bisnis di sana.

Beberapa pihak menilai kehadiran mereka menguntungkan sektor pariwisata dan ekonomi lokal. Namun, sebagian lainnya menganggap ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan budaya dan tanah Bali.
Jerinx pun menegaskan bahwa keresahannya bukan bentuk xenofobia, melainkan bentuk kepedulian terhadap masa depan Pulau Dewata.
Ia mengajak masyarakat dan pemerintah untuk lebih kritis dalam mengatur kepemilikan tanah oleh warga asing dan memastikan Bali tidak kehilangan identitasnya.
“Ini bukan soal benci orang asing. Ini soal mempertahankan Bali untuk generasi mendatang,” tegas Jerinx dalam salah satu komentar lanjutan.