Suara.com - Di tengah riuh rendahnya musik pop dan algoritma TikTok yang serba instan, ada satu nama yang gemanya tak pernah benar-benar padam: Rage Against The Machine.
Bagi generasi yang tumbuh di era 90-an, RATM adalah soundtrack pemberontakan. Bagi generasi sekarang, musik mereka adalah warisan kemarahan yang anehnya terasa semakin relevan.
RATM bukan sekadar band; mereka adalah sebuah pernyataan sikap yang dibalut distorsi gitar dan hentakan drum yang militan.
Lahir di Los Angeles pada tahun 1991, Rage Against The Machine—terdiri dari vokalis Zack de la Rocha, gitaris Tom Morello, bassist Tim Commerford, dan drummer Brad Wilk—muncul sebagai anomali.
![Rage Against The Machine. [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/28/96628-rage-against-the-machine.jpg)
Saat kancah musik Seattle meledak dengan grunge yang introspektif, RATM datang membawa api yang berbeda.
Mereka melebur funk yang groovy, hip-hop yang sarat rima, dan metal yang berat menjadi sebuah entitas musik yang belum pernah terdengar sebelumnya.
Nama mereka sendiri, "Rage Against The Machine" (Amarah Melawan Mesin), bukanlah sekadar nama panggung, melainkan sebuah manifesto.
Lirik Sebagai Senjata, Panggung Sebagai Mimbar
Keunikan RATM tidak hanya terletak pada musiknya. Kekuatan terbesar mereka adalah lirik Zack de la Rocha yang tanpa kompromi.
Baca Juga: Sugeng Wengi dari Rahma Diva: Balada Patah Hati Balungan Kere yang Siap Bikin Ambyar
![Rage Against The Machine. [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/28/16589-rage-against-the-machine.jpg)
Ia tidak bernyanyi tentang cinta yang kandas atau pesta semalam suntuk. Ia berteriak lantang tentang ketidakadilan sistemik, imperialisme Amerika, kebrutalan polisi, dan perlawanan terhadap korporasi.
Lagu seperti "Killing in the Name" dengan mantra ikoniknya bukan sekadar lagu rock; itu adalah himne perlawanan yang diteriakkan di berbagai aksi demonstrasi di seluruh dunia, bahkan puluhan tahun setelah dirilis.
Zack de la Rocha dan Tom Morello selalu memandang musik mereka lebih dari sekadar hiburan.
Dalam sebuah wawancara, semangat mereka tergambar jelas: "Bagi kami, musik bukanlah sekadar pelarian; ini adalah palu godam untuk menghancurkan tembok kebisuan."
Mereka menggunakan popularitasnya untuk menyuarakan isu-isu yang seringkali dihindari oleh musisi arus utama, dari dukungan terhadap Zapatista di Meksiko hingga kritik keras terhadap kebijakan luar negeri AS.
Tom Morello: Sang Arsitek Suara Pemberontakan
Tidak ada diskusi tentang RATM yang lengkap tanpa menyebut kejeniusan Tom Morello. Lulusan Harvard ini mengubah pandangan dunia tentang apa yang bisa dilakukan oleh sebuah gitar listrik.
Alih-alih hanya memainkan solo melodi yang standar, Morello menyiksa gitarnya untuk menghasilkan suara-suara yang tidak lazim.
Dengan pedal wah-wah, killswitch, dan teknik inovatifnya, ia mampu meniru suara DJ-scratching, sirene polisi, hingga ledakan bom.
Riff dalam "Bulls on Parade" atau "Guerilla Radio" begitu ikonik dan langsung dikenali, menjadi cetak biru bagi ribuan gitaris rock dan metal setelahnya.
![Rage Against The Machine. [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/28/60842-rage-against-the-machine.jpg)
Morello adalah bukti bahwa instrumen bisa menjadi perpanjangan tangan dari ideologi.
Ironi Reuni dan Warisan yang Tak Padam
Perjalanan RATM sendiri penuh dengan gejolak. Bubar pertama kali pada tahun 2000, reuni beberapa kali, hingga yang terakhir tur reuni "Public Service Announcement" yang sangat dinanti harus terhenti karena cedera Achilles Zack de la Rocha di atas panggung.
Ironisnya, awal tahun 2024, drummer Brad Wilk mengumumkan bahwa band ini tidak akan melanjutkan tur atau tampil lagi, menandai pembubaran ketiga kalinya.
Seolah-olah, mesin perlawanan ini terlalu volatil untuk bisa terus berjalan tanpa henti.
Meskipun status band ini kembali menggantung, warisan mereka tak terbantahkan.
RATM menginspirasi gelombang band nu-metal dan rap-rock di akhir 90-an dan awal 2000-an. Namun, pengaruh mereka jauh lebih dalam dari sekadar genre.
Mereka membuktikan bahwa musik dengan pesan politik yang keras bisa sukses secara komersial tanpa harus menjual jiwanya.
Di era di mana aktivisme seringkali terasa hanya sebatas tagar di media sosial, mendengarkan RATM adalah sebuah pengalaman katarsis—pengingat bahwa amarah yang terarah bisa menjadi bahan bakar untuk perubahan.
Pesan mereka seakan terus bergema, seperti yang pernah mereka sampaikan, "Sistem ini memang dirancang untuk membuatmu merasa kecil dan tak berdaya, tapi suara kolektif kita adalah badai yang tak bisa mereka abaikan."