Kondisi ini, menurutnya, menuntut adanya peran aktif dari pemerintah dan tokoh masyarakat untuk memberikan edukasi.
Proses birokrasi yang rumit dan berpotensi diskriminatif harus dipangkas. Ia mendorong adanya sebuah sistem perizinan yang lebih adil dan transparan bagi semua agama.
"Sudah saatnya proses perizinan tempat ibadah dibuat transparan, tanpa diskriminasi. Harus ada mekanisme pengajuan keberatan yang jelas dan benar-benar efektif, bukan sekadar formalitas," imbuh Gus Miftah.
Dialog Adalah Jalan Keluar, Bukan Kekerasan
Di tengah panasnya situasi, Gus Miftah menawarkan solusi yang menyejukkan: dialog. Baginya, kekerasan dan intimidasi hanya akan melahirkan lingkaran setan kebencian yang tidak berujung.
Penyelesaian konflik horizontal semacam ini harus melibatkan kepala dingin dan hati yang terbuka.
"Solusi untuk luka seperti ini bukanlah kekerasan atau intimidasi. Jalan keluarnya adalah duduk bersama, berdialog, dan bekerja sama dengan semua pihak yang ada," tuturnya.
Dia menyerukan agar pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama lintas iman, dan masyarakat dapat bersinergi untuk merumuskan solusi yang adil dan berkelanjutan.
Dialog adalah ruang aman bagi setiap pihak untuk menyuarakan kekhawatiran dan kebutuhannya, sehingga tidak ada lagi asumsi yang berkembang liar tanpa klarifikasi.
Baca Juga: Letkol Teddy Indra Wijaya Kunjungi Gus Miftah Jam 1 Dini Hari, Ada Urusan Apa?
"Dengan dialog, kolaborasi, dan rasa keadilan, kita tidak hanya akan memecahkan masalah di depan mata, tetapi juga merajut kembali kohesi sosial dan harmoni yang sempat terkoyak," ucapnya penuh harap.
Untuk memperkuat argumennya, Gus Miftah mengutip pemikiran Milad Hanna, seorang penulis Kristen Koptik dari Mesir.
Dalam bukunya Qabulul Akhar (Menerima yang Lain), Hanna menggagas pentingnya membentuk "sentimen kolektif-sosial".
Sentimen ini mendorong masyarakat untuk keluar dari sekat-sekat identitas kelompok yang sempit dan merangkul persaudaraan yang lebih luas yaitu persaudaraan kemanusiaan.
Gus Miftah percaya bahwa pendidikan dan pemberdayaan masyarakat menjadi fondasi untuk menumbuhkan empati dan kesadaran akan pentingnya toleransi.
Melalui pemahaman bersama, insiden menyakitkan seperti di Sukabumi diharapkan tidak akan pernah terulang lagi.